kievskiy.org

Ibu-ibu Muda Semakin Tidak Berminat Ikut PKK

BANDUNG, (PR).– Tantangan bagi kader gerakan Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) di era modernisasi ini semakin berat. Bukan hanya menyesuaikan rancangan kegiatan masyarakat dalam mensukseskan program pemerintah, kader PKK juga harus mampu menangani pergantian kader yang DO (drop out-berhenti). Hingga mengikutsertakan ibu muda dalam kegiatan-kegiatan PKK.
 
Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi Jawa Barat Netty Heryawan mengungkapkan hal tersebut saat ditemui usai menjadi pembicara pada acara pertemuan rutin Ikatan Wanita Bank (IWABA) Bandung, di Sierra Cafe & Lounge Jl. Bukit Pakar Timur No.33 Bandung, Rabu 11 April 2018.
 
Netty memaparkan, PKK di jaman now harus lebih responsif terhadap permasalahan di masyarakat, baik itu permasalahan yang terkait bidang kesehatan, bidang sosial, termasuk ketenagakerjaan. Bukan hanya menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang ada di empat pokja, Netty menyebutkan PKK juga harus bisa merespons ketika ada sesuatu yang belum tercover oleh empat pokja tersebut beserta turunan-turunannya, seperti posyandu dan Hatinya PKK.
 
“Kan ada posyandu, posyandunya juga harus zaman now, posyandu generasi ketiga. Termasuk kalau ada Hatinya PKK, halaman asri teratur indah nyaman, itu bagaimana supaya masyarakat tergerak untuk bisa memanfaatkan pekarangannya. Berarti harus ada strategi. Itu yang harus dipikirkan oleh PKK jaman now,” jelas Netty.
 
“Strategi men-deliver program supaya sesuai dengan kemampuan masyarakat, itu yang menjadi tantangan PKK zaman now,” lanjutnya.

Ibu bekerja umumnya DO dari PKK

Selain itu, prinsip gerakan PKK yang berdasarkan pada kesukarelaan menjadi faktor utama tingginya tingkat DO pada kader PKK, karena tidak ada upah sebagaimana pegawai pada umumnya. DO dalam konteks ini disebutkan oleh Netty sebagai proses putus sambung kaderisasi. Misalnya si ibu sudah sibuk dengan anak-anaknya kemudian memutuskan keluar dari PKK. Atau mereka yang terjepit persoalan ekonomi dan menjadi TKW, sehingga mau tidak mau harus keluar dari PKK. Ada pula kader yang sukses di tingkat daerah lokal, ganti RW, ganti Kades atau bedol desa, hingga alasan seperti buku panduan yang hilang, serta tidak adanya dacin (timbangan balita).
 
Permasalahan ini, kata Netty, dapat diselesaikan jika kader PKK mampu menggandeng organisasi pemuda, seperti Karang Taruna, PIK-Remaja (Pusat Informasi Kesehatan Remaja), maupun GenRe (Generasi Berencana). Yang berisi anak-anak muda yang sudah terbiasa aktif di kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Netty menilai hal ini cukup sulit, mengingat anak muda masa kini lebih mementingkan urusan ide kreatif daripada kegiatan-kegiatan PKK.
 
“Ini menjadi tantangan PKK di zaman now, bagaimana caranya agar PKK bisa menggandeng kekuatan-kekuatan yang lain tanpa harus kekurangan kader,” pungkas Netty.
 
“Saya belum melihat bahwa generasi ibu muda itu tertarik pada PKK. Kalau sekarang anak muda disuruh nerima pendaftaran ibu-ibu balita, nungguin giliran ditimbang di dacin, mana ada yang mau kan,” ujarnya lagi.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat