kievskiy.org

Manfaat di Akhir Hayat

SEBENARNYA konsumsi daging sapi per kapita per tahun di Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan negara tetangga. Data yang dirilis oleh pemerintah menyebutkan kebutuhan daging sapi nasional tahun 2016 ini mencaai 2,64 per kapita atau mencapai 674,69 ribu ton atau setara dengan 3,9 juta ekor sapi. Sementara, produksi sapi hanya mencapai 439,53 ribu ton atau setara dengan 2,5 juta ekor sapi. Kekurangan 235,16 ribu ton daging inilah yang akhirnya dipenuhi melalui impor. Jika terus berlanjut, mimpi swasembada daging sapi hanya mimpi belaka. Kebutuhan daging yang terus meningkat mau tidak mau mengakibatkan pengurasan sumber bibit ternak untuk dipotong. Padahal dari segi peruntukan bibit masih kurang. Sejumlah upaya sudah dilakukan pemerintah, baik melalui peningkatan populasi, pengembangan logistik dan distribusi, perbaikan tata niaga sapi dan daging sapi, serta penguatan kelembagaan melalui Sentra Peternakan Rakyat. Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor Muhammad Agus Setiadi mengatakan berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2009, hewan ruminansia betina produktif dilarang dipotong. Namun, karena terdesak kebutuhan, tidak jarang sapi betina pun ikut dipotong. Namun, melalui teknologi reproduksi, diketahui hewan betina yang dipotong tidak mengakhiri proses reproduksinya. Ovarium dari hewan yang dipotong masih bisa untuk terakhir kali menghasilkan keturunan baru melalui teknologi in vitro. "Hampir sama dengan teknologi bayi tabung, semua dilakukan di laboratorium," ujar Agus. Menurut Agus, setiap pemotongan hewan betina di RPH menyisakan satu pasang ovarium yang biasanya pemanfaatannya tidak spesifik. Padahal, ovarium itu membawa materi genetik yang berharga dalam jumlah banyak berupa sel telur. Berdasarkan penelitian, diperoleh rata-rata 12,2 sel telur dari setiap ovarium post mortem dalam kondisi subur dan jika ditumbuhkan maka akan menghasilkan 4,6 embrio. "Artinya, kematian betina atau pejantan bukan menjadi akhir kehidupan reproduksinya. Meski, saat ini masih sedikit laboratorium yang mengembangkan teknologi ini," tutur Agus. Diakui Agus, masih ada keraguan penerapan teknologi ini karena terkait asal-usul keturunan. Padahal, hal ini bisa diantisipasi karena teknologi ini menggunakan teknik panen sel telur betina yang masih hidup dengan bantuan USG (ovum pick up). Sel telur yang sudah terseleksi dimatangkan hingga mencapai pematangan inti tahap metapase II. Sebab, hanya sel telur yang matanglah yang akan dibuahi oleh spermatozoa. Tahap kedua, sel telur yang telah dimatangkan akan diproses untuk pembuahan. Setelah itu tumbuhkan di media kultur yanag mendukung perkembangan zigot menjadi embrio yang harapkan. "Apabila hingga hari ke 6 sampai ke 9 embrio sudah mencapai tahap blastosis (perkembangan optimal), maka embrio tersebut siap ditransfer pada resipein yang terlebih dulu disinkronkan status siklus estrusnya," lanjut Agus. Embrio juga bisa dibekukan untuk jangka waktu yang tidak terbatas untuk kemudian ditransfer pada waktu yang dikehendaki. Teknologi ini sudah dijalankan oleh Balai Embrio Ternak Cipelang Kabupaten Bogor dari tahun 2011-2015. Dalam 5 tahun itu, telah diproses 3.613 ovarium yang menghasilkan 37.705 sel telur dengan jumlah sel telur yang matang 25.371 sel. Dari jumlah ini, telah dihasilkan secara total embrio yang telah mengalami tahap blastosis sebanyak 2.309 ebrio. "Bahkan dilaporkan sudah terjadi kelahiran sapi Wagyu (asal Jepang) dari hassil produksi embrio in vitro sebagai sapi yang belum dikembangkan di Indonesia ini," kata Agus.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat