JAKARTA, (PR).- Bank Indonesia optimis jika tekanan Rupiah akan mereda tahun 2019. Hal itu dipengaruhi oleh faktor-faktor pelemahan Rupiah yang berkurang.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, pelemahan Rupiah banyak dipengaruhi oleh tekanan global salah satunya adalah kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika The Fed. Tahun ini, The Fed telah menaikan suku bunga acuannya sebanyak tiga kali dan diprediksi akan melakukannya lagi pada Bulan Desember. Sementara tahun depan, The Fed diprediksi hanya menaikan suku bunga acuannya dua kali.
Perry mengatakan, investor juga akan kembali menanamkan modalnya ke negara berkembang. "Investor yang kemarin menarik modalnya drai negara berkembang tidak mungkin terus-terusan memegang uang tunai. Mereka akan kembali mengalirkan modalnya ke negara-negara bekermbang," kata dia saat seminar Rezim Devisa dan Strategi Menghadapi Pelemahan Nilai Tukar Rupiah yang diselenggarakan Fraksi Golkar di Jakarta, Rabu 3 Oktober 2018.
Selain itu, Perry mengapresiasi langkah pemerintah yang mengeluarkan kebijakan untuk menurunkan defisit transaksi berjalan. Hal itu akan mengurangi kebutuhan Indonesia akan devisa. "Dalam kondisi normal, sebenarnya defisit transaksi berjalan merupakan hal normal. Namun hal ini menjadi perlu diatasi jika dalam keadaan bergejolak," ujar dia.
Hal senada dikatakan Ekonom Universitas Gajah Mada Tony prasentiantono. Dia mengatakan, saat ini terjadi perdebatan terbuka antara Gubernur Bank Sentral AS dan Presiden Trumph. "Gubernur The Fed maunya suku bunga naik karena ekonomi Amerika terancam over heating, konsumsi masyarakat naik sehingga inflasi pun naik. Namun di sisi lain, Trumph inginkan suku bunga tidak terus naik karena mengganggu ekspor dan daya siang AS," ujar dia.
Tony memprediksi The Fed tidak akan menaikan suku bunga lebih dari 3,25 %. Dia bahkan tidak menutup kemungkinan The Fed hanya menahan suku bunganya sampai 3%. " Seperti diketahui, The Fed baru saja menaikan suku bunganya menjadi 2,75% pada September 2018.
Tony mengatakan, pelemahan Rupiah saat ini sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh harga minyak dunia yang meningkat tajam menjadi 85 Dolar AS per barel. Sementara Indonesia merupakan negara pengimpor minyak. Hal ini mendorong defisit neraca perdagangan menjadi semakin dalam.
Meskipun demikian, Tony memprediksi harga minyak tidak akan setinggi ini pada tahun depan. Sebelumnya telah diprediksi bahwa minyak produksi Amerika Serikat akan mengalami puncaknya pada tahun 2020. Hal itu menyebabkan suplai minyak dunia bertambah dan harga pun menurun dibandingkan tahun ini. "Tapi tetap saja menurut saya harga minyak tersebut tidak serendah yang dipatok APBN sebesar 48 Dolar AS per barel," ujar dia.
Pelemahan rupiah masih mungkin berlanjut
Sementara itu ekonom Rizal Ramli mengatakan, nilai tukar Rupiah sebesar Rp 15.000 per Dolar AS ini masih babak awal. Dia memprediksi pelemahan nilai tukar Rupiah masih terus berlanjut dipengaruhi tiga faktor.