kievskiy.org

Anak Kecanduan Game Bisa Jadi Paranoid

ILUSTRASI game online.*/ DOK. PIKIRAN RAKYAT
ILUSTRASI game online.*/ DOK. PIKIRAN RAKYAT

GAME, baik dilakukan sendiri-sendiri, maupun bersama kelompok atau dikenal sebagai mabar (main bareng), ternyata sama bahayanya. Kecanduan adalah dampak buruk yang umumnya dirasakan.

Bagaimana sebenarnya ciri bahwa anak maupun orang dewasa kecanduan main game?

"Ketika orang tersebut memainkannya secara berlebihan. Cirinya apabila si pecandu tidak bisa menghentikan dirinya bermain. Kapanpun dia mau, akan melakukannya," ujar Psikiater Rumah Sakit Hasan Sadikin, dr Teddy Hidayat, Sabtu 11 Mei 2019.

Ciri lainnya, ujar dia, ketika bermain game itu jadi hal terpenting dalam skala prioritasnya. Dibandingkan dengan kepentingan keluarga, atau bermain bersama teman, ia akan memilih untuk bermain game. Dari sinilah masalah biasanya muncul. Pekerjaan rumah tidak dikerjakan, kewajiban diabaikan, dan terganggunya fungsi diri.

"Fungsinya di sekolah terganggu, di pekerjaan terganggu. Fungsi sebagai anggota keluarga pun terganggu. Ini berlaku untuk jenis permainan sendiri maupun bersamaan," kata Teddy.

Ada satu dampak lain akibat bermain game yang paling buruk terhadap perkembangan kepribadian anak. Ia mengatakan, yakni mental terganggu, tumbuh jadi anak egois, jam sosialisasi yang kurang, hingga tidak bisa berempati terhadap sesama. Tentu ini menjadi momok, karena satu generasi ke depan, ujarnya, dapat memiliki kemampuan sosialnya rendah.

Menurut Teddy, game dan internet itu hanya alat, yang kita tidak bisa menghentikan perkembangannya. Justru, teknologi jika tidak diikuti, generasi mendatang akan sulit beradaptasi dengan kemajuannya yang pesat.

"Yang jadi masalah manusianya yang belum siap menggunakan teknologi tadi. Artinya, gunakan internet dan game untuk sesuatu yang bermanfaat," ucap dia. Manusia, katanya, harus melatih diri untuk menggunakan media sosial dan internet. Soalnya dalam perjalanan hidup manusia, perkembangan kognitif (kecerdasan), psikis, dan sosial harus sejalan dan serasi beriringan.

Maka yang bisa dilakukan pada anak-anak di rumah ialah, keluarga mulai menanamkan pembelajaran sosialisasi, agar kognitif dan psiko-sosialnya terus berkembang. Hal itu, ujar Teddy, perlu digodok sejak dari bangku PAUD, TK, dan SD. "Jadi ketika berhadapan dengan teknologi, sudah siap," ujarnya.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat