kievskiy.org

Industri Rumah Tangga Terkendala Sertifikat Halal

SEORANG pelaku UMKM memperlihatkan produk makanannya di gerai miliknya di Jalan Raflesia, Kabupaten Cianjur, Kamis 8 Desember 2016. Sertifikat halal pada produk pangan diakui pelaku usaha menjadi modal kuat dalam proses pemasaran karena dapat meningkatkan kepercayaan konsumen.*
SEORANG pelaku UMKM memperlihatkan produk makanannya di gerai miliknya di Jalan Raflesia, Kabupaten Cianjur, Kamis 8 Desember 2016. Sertifikat halal pada produk pangan diakui pelaku usaha menjadi modal kuat dalam proses pemasaran karena dapat meningkatkan kepercayaan konsumen.*

CIANJUR, (PR).- Perolehan sertifikat halal bagi produk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Kabupaten Cianjur masih terkendala kepemilikan sertifikat Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT). Padahal, UMKM terus bertumbuh dan tingkat kesadaran pelaku usaha terkait sertifikat halal pun dinilai semakin tinggi. Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Cianjur, Ridwan Ilyasin mengatakan, terdapat 42.000 pelaku UMKM pada 2015 lalu dan 80 persennya merupakan pengusaha di bidang makanan dan minuman. "Belum semua pelaku usaha pangan memiliki sertifikat halal, karena syarat mendapatkannya yaitu PIRT cukup sulit diperoleh. Jumlah yang tersertifikasi pun belum begitu besar," katanya, Kamis 8 Desember 2016. Menurut Ridwan, saat ini setiap pelaku usaha di bidang pangan sangat mengutaman sertifikat halal yang menjamin produk mereka. Hal itu disebabkan, sertifikat dinilai dapat meningkatkan kepercayaan konsumen. Sementara itu, sertifikat halal hanya dapat diperoleh jika pelaku usaha memiliki sertifikat PIRT dari Dinas Kesehatan setempat. Akan tetapi, untuk memperoleh PIRT pun bukan hal yang mudah, karena setiap tahunnya dinkes memberikan kuota bagi pelaku usaha. "Jatah yang ditentukan Dinkes itu diakui sejumlah pelaku usaha sebagai kendala besar. Karena, mereka harus mengantre lama untuk dapat PIRT sementara produk harus terus keluar," jelasnya. Ridwan menuturkan, banyak pelaku usaha yang merasa disulitkan untuk memperoleh sertifikat halal. Sementara jika diurus secara mandiri di luar program, diperkirakan pelaku usaha akan terbebani biaya yang cukup banyak. Hingga saat ini, Ridwan mewakili pelaku usaha mempertanyakan alasan Dinkes memberlakukan kuota dalam setiap pendaftaran PIRT. Bahkan, ia sering mendengar jika proses pembuatan PIRT dipungut biaya retribusi, padahal semestinya sertifikat tersebut diberikan secara cuma-cuma. Menanggapi hal tersebut, Kepala Seksi Farmasi dan Pengawasan Makanan dan Minuman Bidang Pelayanan Kesehatan Dinkes Cianjur, Meita Triwendyarti, mengatakan, diberlakukannya sistem kuota dalam pendaftaran PIRT disebabkan keterbatasan anggaran yang dimiliki Dinkes. ”Tidak dimungkiri, jika Dinkes harus mengalokasikan dana yang cukup banyak untuk kebutuhan PIRT. Makanya, kami hanya melayani sesuai dengan kuota yang ditetapkan," ujarnya. Dinkes selama ini membatasi kuota pendaftar PIRT sebanyak 90-120 pelaku usaha per tahun. Meita mengaku, jumlah tersebut dianggap kurang karena setiap tahunnya pendaftar telah mencapai 200 orang. Selain itu, minimnya jumlah inspektur makanan yang bergerak dalam proses pelatihan kebersihan dan kesehatan pangan menjadi kendala tambahan. Oleh karena itu, proses sertifikasi seringkali memakan waktu hingga sebulan untuk 30 pelaku usaha.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat