PIKIRAN RAKYAT - Hari Buruh Internasional atau May Day diperingati setiap 1 Mei. Ribuan buruh dari berbagai sektor melakukan demonstrasi di setiap daerah. Masalah utamanya yakni kesejahteraan, kesenjangan sosial, dan ketidakadilan.
Dalam beberapa tahun terakhir, tuntutan buruh tetap sama yakni pencabutan Omnibus Law UU Cipta Kerja, tenaga kerja alih daya (outsourcing), dan upah murah. Praktik outsourcing saat ini sudah marak terjadi di Indonesia. Bahkan, kontrak outsourcing bisa dilakukan terus-menerus. Sebab, tidak ada batasan jenis pekerjaan yang boleh dialihdayakan tanpa mengangkat karyawan tetap.
![Peserta aksi yang tergabung dalam Aliansi Perjuangan Rakyat Bali mengikuti unjuk rasa peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day 2024 di kawasan Renon, Denpasar, Bali, Rabu (1/5/2024). Dalam aksi itu, para buruh dari berbagai sektor seperti perhotelan, pariwisata dan perikanan di Bali menyampaikan sejumlah tuntutan seperti meminta Pengawas Ketenagakerjaan agar tegas dalam menindak pelanggaraan aturan ketenagakerjaan, menaikkan upah buruh dan memberikan perlindungan serta pemenuhan hak-hak](https://assets.pikiran-rakyat.com/crop/0x0:0x0/x/photo/2024/05/01/3116870938.jpg)
Dua tuntutan itu tentunya punya turunannya. Semua itu bermuara kepada UU Cipta Kerja. Buruh mengkritisi dampak buruk penerapan UU Cipta Kerja, antara lain penetapan upah minimum yang tidak lagi melibatkan unsur tripartit dan kenaikannya tidak memenuhi unsur kelayakan.
Bahkan, sejumlah elemen buruh menuntut pemerintah merevisi PP No. 51 Tahun 2023 dengan mengembalikan mekanisme penghitungan kenaikan upah minimum provinsi dan kabupaten/kota.
Tenaga kerja sebagai bagian dari elemen pembangunan memang harus disuarakan lebih keras kala tidak ada keadilan dan kesejahteraan. Selain itu, aspek perlindungan ketenagakerjaan jaminan sosial yang meliputi jaminan kecelakaan kerja, jaminan kesehatan, hingga jaminan hari tua, harus diberikan kepada seluruh pekerja di tanah air.
Pekerja informal yang terlupakan
![Korban kekerasan pekerja rumah tangga, Sri Siti Marni (28) mengikuti aksi Rabuan PRT: Payung Duka Seribu Ibu-Ibu PRT Indonesia di Taman Aspirasi Monas, Jakarta, Rabu (21/12/2022). Dalam aksi tersebut, mereka mendesak Presiden dan Ketua DPR bersuara untuk mendukung pengesahan UU PPRT guna menghentikan kekerasan dan praktek perbudakan modern terhhadap ibu-ibu pekerja rumah tangga. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc.](https://assets.pikiran-rakyat.com/crop/0x0:0x0/x/photo/2023/01/21/3020068500.jpg)
Kita sering lupa, pekerja informal sering terpinggirkan dari hiruk peringatan Hari Buruh Sedunia. Padahal, jumlah pekerja informal justru relatif lebih banyak dari para pekerja formal.
Definisi pekerja informal adalah seseorang yang berusaha sendiri, berusaha dibantu, buruh tidak tetap, berusaha dibantu buruh tetap, buruh atau karyawan, pekerja bebas di pertanian, pekerja bebas di nonpertanian, dan pekerja keluarga yang tidak dibayar.
Kelompok pekerja informal ini umumnya tidak memiliki badan hukum dan bekerja hanya berdasarkan kesepakatan. Mereka kurang terorganisir dan tidak mendapatkan perlindungan negara. Maka, pekerja informal rawan terkena risiko kerja seperti risiko standar upah yang kurang layak dan tidak mendapatkan jaminan sosial.