PIKIRAN RAKYAT - Semakin banyaknya manusia yang menyalahi etika dan moral, bisa menjadi ciri gagalnya pendidikan. Boleh jadi itu disebabkan persepsi yang keliru. Sekolah bukan pendidikan, tetapi pendidikan di antaranya dilakukan di sekolah. Oleh sebab itu, pendidikan bertujuan mengubah perilaku yang asuhannya agar menjadi lebih baik dan terpuji.
Kekeliruan pemahaman pun sering terjadi. Seakan sekolah menjadi segalanya dalam pendidikan.
Sekolah mengajari anak didiknya agar menjadi cerdas intelektualnya. Sedangkan aspek emosional dan sosialnya tidak hanya cukup di bangku sekolah. Goleman (2003) menyebutkan, perlu pelibatan semua pihak untuk bisa mencerdaskan kedua aspek lainnya. Dengan demikian, keluarga, masyarakat, dan pemerintah menjadi bagian penting dalam aktivitas tersebut.
![Ilustrasi siswa saat mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Dana BOSP 2024 akan disalurkan dalam 2 tahap.](https://assets.pikiran-rakyat.com/crop/0x0:0x0/x/photo/2023/07/21/4062986992.jpg)
Tojai’yah
Ketika etika publik banyak diabaikan, boleh jadi nilai yang dianutnya demikian lemah. Syukur jika hal tersebut dilakukan oleh cacah kuricahan. Akan menjadi berbeda jika dilakukan oleh para inohong.
Bukan hanya aturan negara yang dipreteli untuk tujuan kelompok kepentingan, namun juga nilai agama dan budaya bisa dihancurkan. Dampaknya, publik akan mengikutinya tatkala prilaku sesat dilakukan inohong. Bila sudah demikian, runtuhlah pertahanan moral dan etika seperti Sutor (19910 Tuliskan.
Bisa jadi generasi penerus ada yang prihatin dengan kondisi diatas. Bisa jadi banyak sabda yang mulia dituturkan, tetapi kesesatan perilaku juga ditunjukkan. Hal yang toja’iyah tersebut mencerminkan adanya kondisi dimana pendidikan dipelintir untuk tujuan yang jauh panggang dari apinya. Keteladanan dari komunitas terkecil bisa tidak tampak kecuali tontonan bukan tuntunannya.
Tidak berlebihan jika dengan kerontangnya mental anak didik, pendidikan di sekolah pun bisa gersang dari jiwa pendidikannya. Bukan hanya anak didik, bahkan pengajar pun bisa melakukan manipulasi karya dan tidak menjadi tuntunan yang baik. Tidak sedikit pengajar yang melakukan plagiasi, korupsi tatkala diberi kepercayaan jabatan, bahkan banyak juga gemar mengejar prestise akademik dengan cul dogdog tinggal igel.
Hal diatas bisa jadi pelanggaran etika seperti Keban (2008) tuliskan. Oleh sebab itu, etika sebagai dimensi penting yang telah menjadi genting. Bila etika sudah diabaikan juga dalam proses pendidikan, maka tulang punggung negara sudah mulai osteoporosis.
Banyaknya praktik korupsi, pencitraan, komersialisasi, eksploitasi aset negeri serta praktik sesat lainnya terus ditunjukkan oleh sejumlah elite yang tidak memiliki kecintaan kepada anak negeri dan masa depannya. Pendidikan pun berpotensi menjadi media bargaining dan transaksional kepentingan.