kievskiy.org

Perbaiki Regulasi Pilkada Secara Keseluruhan

JAKARTA,(PR).- Perdebatan mengenai rancangan undang-undang pilkada saat ini cenderung hanya mengerucut kepada nominal syarat persentase suara yang mesti dipenuhi dalam proses pencalonan kepala daerah. Padahal, persoalan di dalam regulasi UU pilkada tidak hanya persoalan pencalonan kepala daerah. Pembahasan uu ini seharusnya dilakukan secara menyeluruh. Hal itu dikemukakan Koalisi Pilkada Berintegritas yang terdiri dari Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Indonesia Corruption Watch (ICW), Transparency International (TI) Indonesia, Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (KoDe Inisiatif), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Indonesia Budget Center (IBC), Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Indonesian Parliamentary Center (IPC), dan Rumah Kebangsaan. Koordinator JPPR Masykurudin Hafidz di Jakarta, Sabtu 23 April 2016 mengingatkan, setidaknya ada sembilan persoalan krusial yang penting untuk dibahas dan diperbaiki pada revisi UU Pilkada kali. Pertama, ambang batas pencalonan perlu diturunkan. "Hal ini bertujuan untuk menciptakan keadilan antar partai politik dan calon perseorangan. Jika hal ini dilakukan, maka akan tercipta kemudahan dalam mencalonkan kepala daerah, baik bagi partai politik , maupun calon perseorangan," kata Masykurudin. Kedua, seluruh pejabat publik yaitu kepala daerah, anggota DPR, DPRD, DPD, TNI, Polri, PNS, BUMN dan BUMD harus mundur ketika ditetapkan sebagai pasangan calon. Tujuannya menurut Masykurudin, untuk menghindari penggunaan fasilitas, kebijakan dan garis komando untuk dimanfaatkan dalam proses kandidasi dan menciptakan ruang yang sama dalam berkampanye. Ketiga, pasangan calon kepala daerah harus berstatus bebas murni. Artinya, kata Masykurudin, tidak diperkenankan kepada seseorang yang sedang menjalani masa bebas bersyarat mengikuti proses pencalonan dalam pilkada. "Persoalan terjadi pada proses pelaksanana Pilkada 2015 yang lalu, dimana terdapat calon yang bebas bersyarat dinyatakan memenuhi syarat sebagai calon," katanya. Keempat, perlu ada sanksi administrasi terhadap calon dan partai politik yang terbukti memberi dan atau menerima imbalan mahar politik saat proses pencalonan. Masykurudin mengatakan sanksi itu berupa pembatalan sebagai pasangan calon. Menurutnya, pemberlakuan sanksi pembatalan itu sebagai calon juga berlaku ketika pasangan calon menyampaikan laporan dana kampanye secara tidak benar dan manipulatif. ‎ Kelima, memasukkan klausul larangan dan sanksi bagi pelaku politik uang. Masykurudin mengatakan setiap orang yang terbukti menjanjikan, memberi, dan menerima uang atau barang dalam rangka mempengaruhi pilihan maka mendapatkan sanksi administratif berupa pembatalan calon dan diproses secara pidana. ‎ Keenam, desain penegakan hukum pilkada harus beriringan dengan tahapan dan terdapat kepastian waktu putusan. "Sengketa pencalonan dipermudah dan efisien, misalnya upaya hukum pertama ke PTUN dan bisa kasasi ke MA atau upaya hukum ke Bawaslu dan keberatan ke MA," katanya. Ketujuh, anggaran pilkada dibebankan kepada APBN. Untuk pelaksanaan Pilkada 2018 dan seterusnya, kata Masykurudin, APBN membiayai Pilkada serentak. Kedelapan, fasilitas KPU dalam hal alat peraga perlu diefektifkan, sehingga tidak ada alat peraga yang sudah dibiayai oleh negara menjadi terbuang percuma. "Selain itu, perlu memperbanyak debat publik pasangan calon hingga level terendah dan memperbanyak penyebarluasan naskah visi, misi, dan program pasangan calon," katanya. Sembilan, partai politik yang sedang bersengketa dilarang mengikuti pencalonan pilkada hingga mempunyai keputusan hukum tetap. Tidak ada lagi pendaftaran pasangan calon dari dua kepengurusan berbeda. Hal ini menurut Masykurudin, menjadi penting untuk dipastikan, sehingga tidak menghambat KPU dalam melakukan verifikasi kepengurusan partai politik seperti pada Pilkada 2015 yang lalu. Masykurudin mengatakan, proses pelaksanaan revisi UU pilkada sudah berjalan sepanjang minggu ini. Namun dia juga menyayangkan, proses pembahasan cenderung dilakukan dengan cara tertutup. Cara itu menurutnya membuat sulit bagi publik untuk mendapatkan informasi terhadap proses pembahasan yang sedang dilakukan. Padahal, proses pembahasan terbuka, akan sangat dibutuhkan agar publik dapat berpartisipasi terhadap perbaikan regulasi pilkada yang lebih baik. "Selain itu, berdasarkan pewartaan dari berbagi media, proses pembahasan yang dilakukan oleh DPR dan pemerintah masih saja berkutat disekitar syarat pencalonan kepala daerah," katanya. Masykurudin menduga, pembahasan terhadap bagian ini berlarut karena memang terkait dengan langsung dengan kepentingan pencalonan bagi partai politik di pemilihan kepala daerah nanti.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat