kievskiy.org

Intimidasi Aparat Ancam Demokrasi di Indonesia

SENIMAN pantomim Wanggi Hoed beraksi di peringatan World Press Freedom Day, Selasa, 3 Mei 2016. Solidaritas Jurnalis Bandung yang terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, Wartawan Foto Bandung (WFB), dan Pewarta Foto Indonesia (PFI) Bandung menggelar aksi di Taman Vanda, Jalan Merdeka, Bandung.*
SENIMAN pantomim Wanggi Hoed beraksi di peringatan World Press Freedom Day, Selasa, 3 Mei 2016. Solidaritas Jurnalis Bandung yang terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung, Wartawan Foto Bandung (WFB), dan Pewarta Foto Indonesia (PFI) Bandung menggelar aksi di Taman Vanda, Jalan Merdeka, Bandung.*

JAKARTA, (PR).- Penangkapan, pelarangan, dan intimidasi yang dilakukan aparat kepada beberapa individu dan kelompok dengan menggunakan label tertentu belakangan ini dinilai akan mengancam demokrasi di Indonesia. Ironisnya banyak penangkapan yang dilakukan oleh aparat itu melangkahi konstitusi yang ada. Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Alghifari Aqsa mewakili Gerakan Masyarakat Indonesia untuk Demokrasi menuturkan banyak pelanggaran hukum yang dilakukan oleh aparat dalam menindak individu atau kelompok yang dianggap berafiliasi atau menyebarkan paham tertentu. Pelanggaran itu di antaranya dengan tidak menyertakan surat tugas dan identitas yang jelas ketika melakukan penangkapan. "Banyak hal yang salah, cenderung sporadis dan brutal. Bahkan (tak jarang) mereka bingung untuk menentukan landasan hukum penangkapan tersebut," kata Aqsa dalam konfrensi pers Gema Demokrasi menolak pembungkan berkespresi di Kantor Lembaga Bantuan Hukum di Jakarta, Kamis, 12 Mei 2016. Landasan hukum TAP MPRS XXV/1966 tentang larangan paham komunisme di Indonesia yang selama ini digaungkan oleh aparat untuk menghalalkan penangkapan pun sejatinya masih bisa diperdebatkan. Soalnya, lanjut Aqsa dalam TAP MPR Nomor 1 Tahun 2003 yang menyempurnakan TAP MPRS sebelumnya dinyatakan pelarangan paham komunisme harus berlandaskan pada asas demokrasi dan HAM. "Dan ini kita lihat (asas demokrasi dan HAM) enggak terjadi. Hanya karena membaca buku atau memiliki kaos yang diidentikan paham tertentu seseorang sudah bisa ditangkap. Bahkan ada kaos Munir yang juga ikut disita, ujung-ujungnya semua perjuangan kerakyatan dituduh komunis," ucapnya seraya menuturkan Mahkamah Konstitusi pun sejak 2010 telah membatalkan UU No 4/PNPS/1963 yang kerap dijadikan dasar bagi Kejaksaan untuk membredel buku. Jika hal tersebut terus dibiarkan, bukan tidak mungkin ke depannya pengaruh orde baru yang sudah runtuh oleh reformasi 1998 bisa bangkit kembali. "Kalau ada konstruksi kasus seseorang yang membuat propaganda dan menyebarkan paham tertentu itu masuk akal. Tapi itu kan enggak pernah terjadi. Yang ada malah menciptakan phobia dan menyebabkan harapan kembali lagi orde baru dan kekuasaan militer," ucapnya. Gema Demokrasi pun akan melanjutkan sikap penolakan mereka terhadap pembungkaman berekspresi oleh negara dalam bentuk aksi yang lebih besar. Sementara itu, sejumlah intimidasi dan tindakan represif aparat terjadi di beberapa kota besar di Indonesia dalam kurun waktu yang berdekatan. Selain razia kaos dan buku yang berbau kiri, pembubaran diskusi publik pun sering terjadi dan tak jarang melibatkan kelompok-kelompok intoleran. Di Bandung, intimidasi ini terjadi pada penyelenggaraan Monolog Tan Malaka 23 Maret 2016 lalu, Perayaan Tubuh Internasional 2016 pada 27 Maret 2016, hingga pembubaran Diskusi Karl Marx di Kampus Institut Seni Budaya Indonesia Bandung yang dibubarkan oleh Ormas, beberapa hari lalu.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat