kievskiy.org

DPR Minta Pemerintah Usut Dugaan Auditor Keuangan Manipulatif

Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla (kanan) meninggalkan Ruang Garuda seusai menghadiri Penyampaian Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2016 di Istana Bogor, Bogor, Jawa Barat, Selasa, 23 Mei 2017 lalu. BPK memberikan predikat opini wajar tanpa pengecualian (WTP) terhadap LKPP Tahun 2016 yang merupakan pemeriksaan atas pertanggungjawaban pemerintah pusat atas pelaksanaan APBN 2016.*
Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla (kanan) meninggalkan Ruang Garuda seusai menghadiri Penyampaian Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2016 di Istana Bogor, Bogor, Jawa Barat, Selasa, 23 Mei 2017 lalu. BPK memberikan predikat opini wajar tanpa pengecualian (WTP) terhadap LKPP Tahun 2016 yang merupakan pemeriksaan atas pertanggungjawaban pemerintah pusat atas pelaksanaan APBN 2016.*

JAKARTA, (PR).- Komisi III DPR RI mendesak pemerintah memberi perhatian khusus pada kasus dugaan suap untuk mendapatkan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK kepada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT).

Ketua Komisi III DPR RI Bambang Soesatyo mengatakan, praktik suap-menyuap untuk mendapatkan penilaian positif dari BPK bisa merusak tata kelola keuangan negara, karena hasil pemeriksaan dan penilaian BPK berpotensi menyesatkan. Menurut dia, praktik seperti itu memberi gambaran bahwa korupsi berjamaah di negara ini dilakukan secara sistematis, dan bisa ditutup-tutupi secara sistematis oleh para auditor yang bermain.

Dalam Laporan keuangan tahun 2016, Kemendes PDTT mendapatkan predikat WTP dari BPK. "Namun, karena ada praktik suap untuk mendapatkan predikat itu, kesimpulan yang bisa dimunculkan adalah hasil pemeriksaan dan penilaian BPK terhadap Kemendes PDTT manipulatif atau tidak jujur," ujarnya, Minggu, 28 Mei 2017.

Menurut dia, BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara atau lembaga dan badan lain yang mengelola keuangan negara. Dalam menjalankan fungsi ini, katanya, BPK berwenang meminta keterangan atau dokumen dari setiap orang, unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara serta badan lain.

Bila auditor BPK manipulatif karena menerima uang suap, ujar Bambang, laporan hasil pemeriksaan pun pasti tidak jujur atau sarat kebohongan. "Akibatnya, gambaran tentang tata kelola keuangan negara menjadi amburadul, karena benar-salah atau untung-rugi menjadi sulit ditelusuri," katanya.

Suap untuk mendapatkan predikat WTP dari BPK, Bambang menambahkan, adalah modus pelaku suap untuk menutup-nutupi suatu tindakan penyimpangan atau korupsi anggaran. Menurutnya, itu adalah model lain dari praktik korupsi berjamaah. "Kalau modus ini tidak dihentikan, korupsi di negara ini akan sangat sulit diperangi," tuturnya.

Pasalnya, korupsi berjamaah dinilainya telah dilakukan secara sistematis. Begitu juga peran dan tipu muslihat para auditor BPK, bisa ditutup-tutupi secara sistematis pula. Menurut dia, tidak tertutup kemungkinan modus pemeriksaan dan penilaian seperti pada kasus Kemendes PDTT juga terjadi di kementerian/lembaga (K/L) lain.

Seperti diketahui, pemerintah pusat mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) atas pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat tahun 2016. Opini WTP mendapatkan perhatian tersendiri dari pemerintah, karena selama 12 tahun terakhir tidak pernah mendapatkannya.

Baru pada pemerintahan Presiden Joko Widodo, opini WTP kembali didapatkan. Seremoni penyerahan laporan keuangan pemerintah oleh BPK itu diselenggarakan di Istana Kepresidenan Bogor, Selasa, 23 Mei 2017.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat