kievskiy.org

Sosok Multatuli yang Mampu Membuka Mata Dunia Terhadap Kolonialisme Tak Lepas dari Kritik

MESKI sosoknya masyhur sebagai salah satu tokoh yang mampu membuka mata dunia pada kejamnya kolonialisme, Douwess Dekker sebagai orang asli di balik nama Multatuli tak lepas dari kritik. Profesor Veth, Guru Besar Universitas Leiden misalnya menilai karya Dekker berjudul Max Havelaar bukan roman karena nilai sastranya hanya embel-embel, bukan pula biografi karena tidak memaparkan fakta-fakta sejarah.

Menanggapi ini, sejarawan UGM yang juga lulusan Leiden, Sri Margana memandang penilaian ini bisa jadi pembelaan Veth atas kolonialisme, mengingat Leiden menjadi salah satu rujukan kala pemerintah kolonial menentukan kebijakan di tanah koloni.

Sanggahan senada juga disebut oleh sejarawan UI, Bondan  Kanumoyoso yang menyebut kalau Dekker punya pengetahuan yang cukup mengenai kesewenang-wenangan pemerintah kolonial karena dia telah cukup lama bertugas di Hindia Belanda. Dua sanggahan ini disampaikan dalam diskusi di Festival Seni Multatuli yang digelar di Rangkasbitung, Lebak, Sabtu 8 September 2018.

Akan tetapi, pandangan berbeda justru muncul dari Penulis dan Budayawan Seno Gumira Ajidarma. Menurut dia, boleh jadi Dekker sukses sebagai sosok penulis yang bisa menghasilkan novel fenomenal dengan nama pena Multatuli. Akan tetapi, fakta sejarah juga mencatat karier Dekker selama bertugas di Hinda memang tak gemilang.

Dekker misalnya pernah berbuat kesalahan terkait dengan masalah administrasi saat bertugas sebagai kontrolir di Natal, Sumatra Utara hingga kemudian dia dibebastugaskan dan hanya mendapat uang tunggu selama dirinya belum mendapat jabatan. Dekker juga pernah cuti panjang di Eropa hingga kembali lagi ke Hindia Belanda, untuk menjadi asisten residen di Lebak. 

”Dia menyebut 17 tahun di Hindia Belanda, padahal dalam beberapa catatan, dia hanya menghabiskan tidak lebih dari 14 tahun. Itu pun sebagian besar hanya sebagai tata usaha saja. Begitupun di Lebak yang hanya tiga bulan dan tak pernah ke lapangan,” kata Seno.

Dalam suatu catatan, Dekker bahkan digambarkan sebagai sosok yang menyenangkan tetapi agak sinting. Kata Seno, ”Dia hanya duduk di meja dan dikompres di kepala.”

Meskipun tak meragukan dampak besar dari Max Havelaar, Seno juga menyebut karya ini bisa saja dibuat oleh Dekker untuk merehabilitasi namanya yang saat itu berselisih paham dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan membuatnya mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai pangreh praja. Pasalnya, setelah menduga Bupati Lebak korup dan melaporkannya ke Residen terus ke Gubernur Jenderal, Dekker malah ditegur.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat