JAKARTA, (PR).- Dengan terpilihnya Ketua MPR, DPR, dan DPD setelah dilantik pada 1 Oktober 2019 lalu, perwakilan rakyat di Senayan sudah semakin siap bekerja. Seperti diketahui, MPR dipimpin oleh Bambang Soesatyo dari Golkar, DPR oleh Puan Maharani dari PDIP, dan DPD oleh La Nyalla Mataliti dari Jawa Timur. Namun komposisi pimpinan lembaga negara yang dekat dengan pemerintah akankah menganggu demokrasi kita?
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Lucius Karus menilai komposisi parlemen yang didominasi politisi dari parpol pendukung pemerintah adalah bagian dari misi pemilu serentak. Menurutnya, Pemilu serentak memang menghendaki kehadiran mayoritas pendukung pemerintah di parlemen agar pemerintahan presidensil bisa berjalan stabil.
“Tentu saja kehadiran pimpinan yang didominasi pendukung pemerintah akan berkontribusi pada peningkatan kinerja karena mestinya tak ada kendala politis yang ditakutkan untuk melahirkan kebijakan baru,” kata Lucius kepada “PR”, Jumat, 4 Oktober 2019.
Tetapi dengan komposisi pimpinan DPR dan MPR yang didominasi oleh pendukung pemerintah, tantangan serius yang menanti pemerintahan periode baru ini adalah bagaimana memastikan program-program yang dibicarakan DPR dan Pemerintah masih tetap akan pro rakyat sekaligus membuka ruang pada partisipasi rakyat. Karena diakui atau tidak, dominasi penguasa selalu potensial melahirkan kesewenang-wenangan atau otoritarianisme.
“Jika oposisi parlemen juga dengan gampang bisa dibeli maka semakin sempurna niat penguasa untuk mengatur negara sesuka mereka. Merasa tak ada kekuatan politik oposisi yang bisa menghambat keinginan koalisi pemerintah, itu akan makin memudahkan kesewenangan muncul,” ucap dia.
Potensi kesewenang-wenangan kekuasaan ini yang sudah mulai muncul dan membuat publik perlu khawatir. Beberapa contoh telah membuktikan dalam banyak hal di Parlemen tak ada oposisi yang kuat. Dalam menyetujui revisi UU KPK yang kontroversial dan rencana serupa pada sejumlah RUU lain misalnya, tanpa membuka ruang terbuka dan leluasa pada publik parlemen dengan buru-buru mengetok palu.
“Ini sinyal awal dominasi koalisi yang condong pada sikap sewenang-wenang,” ucap dia.
Belum lagi, sambung Lucius, dengan upaya kompromi untuk proses pemilihan pimpinan MPR yang dengan mudah menjadikan amandemen UUD sebagai alat transaksi. Ini potensi-potensi yang mulai kelihatan betapa dominasi koalisi di parlemen dan MPR akan kian melapangkan jalan elite kekuasaan untuk memuluskan kepentingan mereka diakomodasi melalui kebijakan-kebijakan legislasi dan konstitusi.
“Dominasi koalisi ini akan selalu berupaya membenarkan diri seraya menutup telinga pada suara rakyat. Parlemen akan dengan mudah menjadi ruang tertutup untuk membangun kompromi-kompromi yang menguntungkan parpol sekaligus mengabaikan rakyat,” ucap dia.