kievskiy.org

Dakwah Harus Jadi Cara Menghalau Radikalisme

SEJUMLAH pemuda pemudi mengenakan siga dan sampolu yakni penutup kepala adat saat mengikuti kemah lintas agama di Hutan Kaombona Palu, Sulawesi Tengah, Senin, 4 November 2019. Kemah lintas agama yang diikuti pemuda pemudi dari berbagai wilayah di Kota Palu tersebut untuk mempererat silaturahmi dan memperkuat rasa toleransi antarumat beragama serta sebagai upaya pemerintah setempat untuk menangkal radikalisme.*/ANTARA FOTO
SEJUMLAH pemuda pemudi mengenakan siga dan sampolu yakni penutup kepala adat saat mengikuti kemah lintas agama di Hutan Kaombona Palu, Sulawesi Tengah, Senin, 4 November 2019. Kemah lintas agama yang diikuti pemuda pemudi dari berbagai wilayah di Kota Palu tersebut untuk mempererat silaturahmi dan memperkuat rasa toleransi antarumat beragama serta sebagai upaya pemerintah setempat untuk menangkal radikalisme.*/ANTARA FOTO

JAKARTA, (PR).- Penunjukan Menteri Agama bukan dari kalangan ahli agama menjadi sejarah baru. Namun belum lama dilantik, wacana yang digulirkan Menteri Agama Fachrul Razi sudah menjadi polemik. Pelarangan celana cingkrang dan cadar di lingkungan ASN untuk meredam radikalisme misalnya. Padahal radikalisme efektif diredam oleh jalan dakwah.

Anggota Komisi VIII dari FPKB Maman Imanulhaq menilai di tengah masifnya informasi yang masuk, umat harusnya dikembalikan pada gerakan dakwah yang literalistik, pada referensi, dan berdasarkan atas dalil dan realita kebutuhan masyarakat. Dengan begitu anggaran pendidikan agama yang dikucurkan dari Kementerian Agaman juga akan menjadi lebih efektif.

“Harusnya lewat pendidikan dan melibatkan organisasi keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah untuk membina para dai yang mengisi ceramah di masjid kampus dan BUMN, serta melibatkan kementerian lain untuk tidak memberi peluang bagi para dai yang radikal,” kata Maman kepada “PR” di Kompleks Parlemen Senayan, Kamis 7 November 2019.

Selain itu pemuka agama yang moderat sudah semestinya menguasai media sosial. “Jangan sampai kalah dengan orang yg pengetahuan minim agama tapi menguasai media lalu jadi panutan umat,” ucap dia.

Sementara mengenai cara berpakaian, mestinya Menag tak perlu mengatur sampai sejauh itu. Selain akan membuat keyakinan yang salah kaprah pada pemerintah, gaya berpakaian itu tak bisa digeneralisir sebagai radikal.

“Isu ini kontraproduktif di tengah upaya kita untuk melebur polarisasi pasca-Pilpres. Jangan jadikan isu radikalisme ini komoditas tapi diantisipasi lewat pembenahan kurikulum, pembinaan SDM, dan penguatan ideologi Pancasila,” ucap dia.

Selain itu, penegakan hukum seperti pada ujaran kebencian juga harus dipastikan sampai ke bawah dan adil bagi semua pihak. Pasalnya masih ditemukan pegawai Kementerian Agama yang jadi bagian penyegelan gereja atau BUMN yang masih mengundang dai dari HTI yang sudah dilarang.

“Tapi penegakan hukum juga harus disampaikn ke tingkat bawah karena dakwah kebencian bukan hanya bahaya bagi kedaulatan tapi juga kemanusiaan,” ucap dia.

Maman juga mengkritisi istilah manipulator agama yang dicetuskan Jokowi sebagai pengganti radikal. Menurutnya manipulator agama memang harus ditindak, tapi tindak juga manipulator anggaran, data, informasi, dan berita.

“Pemerintahan ini harus dibangun atas kepercayaan pada rakyat, harus adil pada semua, jangan buat polarisasi yang lebih tajam,” ucap dia.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat