kievskiy.org

Pengamat: Wacana Mengembalikan Pilkada ke DPRD Logika Mundur

ILUSTRASI.*/DOK PR
ILUSTRASI.*/DOK PR

JAKARTA, (PR).- Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian mewacanakan evaluasi terhadap pemilihan kepala daerah. Fokus evaluasi disebabkan oleh biaya politik pilkada langsung yang dinilai tinggi. Wacana yang disampailan oleh Mendagri ini kemudian disambut oleh beberapa partai politik dengan mengusulkan pemilihan kepala daerah kembali kepada DPRD. Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Fadli Ramadhanil menilai wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD ini jelas logika yang melompat.

“Wacana ini tidak produktif terhadap wacana mengevaluasi pilkada, serta merupakan langkah mundur demokratisasi di Indonesia,” kata Fadli kepada “PR”, Minggu, 10 November 2019.

Menurut Fadli, jika ingin melakukan evaluasi pilkada, khususnya terkait dengam biaya politik yang tinggi, pembentuk undang-undang, utamanya elit politik, mesti menjawab dan menemukan apa penyebab biaya politik yang tinggi itu apa. Bukan secara tiba-tiba langsung mengusulkan pemilihan kembali ke DPRD.

“Apakah dengan mengembalikan pemilihan ke DPRD otomatis biaya politik akan menjadi rendah? Respons elit politik, juga kemendagri terhadap narasi evaluasi pilkada langsung harusnya lebih komprehensif, dan menyentuh pokok masalah. Jika fokusnya biaya politik yang tinggi, harus betul-betul diklasifikasikan secara benar, pada komponen apakah calon kepala daerah mengeluarkan biaya terbesar,” ucap dia.

Bisa jadi pengeluaran uang yang besar dari kepala daerah, justru terhadap kegiatan yang harusnya tidak boleh dilakukan di dalam pilkada. Salah satunya adalah uang yang dikeluarkan untuk mahar politik atau tiket pencalonan. Hal ini mengingat dugaan tingginya angka mahar politik dalam setiap kontestasi pilkada selalu jadi masalah yang belum terselesaikan. Salah satu penyebabnya adalah kelemahan dari sistem penegakan hukum dalam larangan praktik mahar politik.

“Bakal calon kepala daerah pun kebanyakan mengungkap praktik mahar politik ini setelah yang bersangkutan gagal menjadi calon kepala daerah. Pada titik ini, eveluasi pilkada langsung harusnya fokus kepada masalah mahar politik,” ucap dia.

Fadli menambahkan, jangan sampai, persoalan yang ada di dalam perilaku elit politik, serta sistem rekrutmen kepala daerah di partai yang belum demokratis, namun justru memberangus hak konstitusional warga negara untuk memilih pemimpin. “Ini tentu saja sebuah langkah yang tak produktif”.

Penyelesaian praktik mahar politik bisa diselesaikan dengan membuat transparan dan akuntabel sumbangan setiap orang kepada partai, jika memang itu dilakukan di dalam kontestasi pilkada. Artinya, uang yang diberikan kepada partai, harus dicatatkan dan dilaporkan secara terbuka.

“Nominalnya mesti mengikuti batasan sumbangan kepada partai politik sebagaimana diatur di dalam UU Partai Politik. Dengan begitu, seorang bakal calon tidak boleh memberikan uang dengan nominal begitu besar, dan tidak dicatatkan dan dilaporkan,” ucap Fadli.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat