BANDUNG, (PR).- Institut Teknologi Bandung menganugerahkan gelar Doktor Kehormatan (Honoris Causa) kepada Dra. Nurhayati Subakat, Apt. Pendiri dan pelopor kosmetik halal Wardah itu menjadi perempuan pertama yang menerima gelar Doktor Kehormatan dari ITB.
Penganugerahan gelar Doktor Kehormatan itu dilaksanakan di Sasana Budaya Ganesha ITB, Jumat, 5 April 2019. Penganugerahan gelar dilakukan bersamaan dengan wisuda kedua tahun ajaran 2018/2019.
Nurhayati merupakan perempuan pertama yang menerima gelar kehormatan ini. Sebelumnya, penghargaan yang sama diberikan kepada Dr. Ir. Soekarno, Presiden Republik Indonesia pertama; Prof. Dr. Emil Salim; Dr. Ir. Arifin Panigoro; Prof. Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia keenam; serta kedua Nobel Laureate yaitu Prof. Peter Agre dan Prof. Finn Erling Kydland.
Nurhayati merupakan alumni Farmasi ITB angkatan 1971. Ia kemudian menyelesaikan pendidikan Apoteker pada 1976. Setelah bekerja di industri kosmetik, Nurhayati mulai membangun usahanya pada 1985 dengan membuat produk sampo di rumahnya.
Nurhayati mengembangkan formulasi produk yang mampu bersaing di pasar. Parameter mutu dikembangkan dalam menciptakan formula produknya, yang mencakup prameter mutu organoleptik, keamanan, efikasi, ditambah parameter halal.
Parameter halal merupakan hal penting dalam parameter mutu Wardah. Pada tahun 1999, pabrik PTI mendapat sertifikat halal dari LPPOM MUI dengan brand Wardah. Merek itu pun menjadi pelopor brand halal di Indonesia dan mendapat penghargaan dari World Halal Council.
Kunci keberhasilan ada di penelitian dan pengembangan
Nurhayati tidak pernah membayangkan meraih gelar kehormatan itu ketika pertama kali menginjakkan kaki di ITB 48 tahun yang lalu. "Saya merasa tersanjung dan terhormat, apalagi ketika mengetahui bahwa dari sembilan orang penerima Honoris Causa di ITB dalam kurun waktu tujuh dekade, saya merupakan perempuan pertama yang menerima gelar ini, dan dua di antaranya adalah Nobel Laureate," tuturnya dalam orasi ilmiahnya.
Kesuksesan ini, kata dia, tak mulus-mulus saja. Rumah tempat produksinya pernah terbakar habis sehingga hutang menumpuk. Namun, ia bisa bangkit dengan bantuan banyak pihak. Lepas dari itu, usahanya dihantam krisis moneter 1998.
"Krisis ini mengajarkan untuk tidak menyerah dan kita bersama membangun kembali ekonomi Indonesia lewat usaha nyata. Banyak pesaing yang tidak berproduksi dan menutup usaha, tapi kami terus berusaha melanjutkan proses produksi," katanya.