kievskiy.org

Mengungkap Intrik Reklame di Kota Bandung

WARGA melintas di depan papan pelayanan pajak reklame di area perkantoran Dinas Pelayanan Pajak (Disyanjak) Balai Kota, Jalan Merdeka, Kota Bandung, Jumat 10 Maret 2017. Praktik buruk KKN, mengakibatkan pemohon izin ha­rus mengeluarkan dana belasan kali lebih mahal.*
WARGA melintas di depan papan pelayanan pajak reklame di area perkantoran Dinas Pelayanan Pajak (Disyanjak) Balai Kota, Jalan Merdeka, Kota Bandung, Jumat 10 Maret 2017. Praktik buruk KKN, mengakibatkan pemohon izin ha­rus mengeluarkan dana belasan kali lebih mahal.*

WID Sunarya ibarat kamus berjalan dunia pereklamean di Kota Bandung. Pada usianya yang sudah memasuki kepala enam, ia merekam dengan baik jatuh-bangun bisnis dengan perputaran uang ratusan miliar rupiah saban tahun tersebut.

Wid tahu rencana Wali Kota Ridwan Kamil membersihkan Jalan Dago dan Jalan Asia Afrika dari reklame. Ia juga tahu kontroversi seputar bando videotron di Jalan Merdeka. Ia meyakini bahwa Agung Niskala, sang pemilik reklame, merupakan ”pengusaha taat aturan” yang apes karena dokumen perizinannya dipersulit.

”Saya tahu Agung. Dia pengusaha baru yang taat aturan. Diminta bongkar, ya bongkar. Kasihan dia,” kata Wid di sebuah restoran berusia 80 tahun di Jalan Aceh, Bandung, Selasa 7 Maret 2017 siang.

Wid, pemilik CV Sumber Sarana Promo, memulai karier sebagai pegawai sebuah biro reklame di Jakarta pada 1982. Setelah dua warsa menimba ilmu dengan ”ikut orang”, ia kembali ke Bandung dan merintis usaha sendiri. Baru ada segelintir biro reklame kala itu.

Bisnis reklame belum dilirik sebagai penyumbang signifikan pendapatan Pemerintah Kota Bandung yang ketika itu dipimpin Ateng Wahyudi. Belum ada seperangkat aturan khusus yang dibuat. Pengurusan izin reklame begitu mudah. Lokasinya tergantung pada ajuan para pengusaha.

Meski longgar, Wid ingat betul bahwa Ateng (Wali Kota Bandung periode 1983-1993) mewanti-wanti para anak buahnya agar tidak sekali-kali memberikan izin pemasangan reklame di Jalan Cipaganti dan Jalan Babakan Siliwangi. Wid mengaku pernah coba-coba mengajukan pemasangan titik reklame di ujung Jalan Tamansari, tepat di pertemuan dengan Jalan Babakan Siliwangi, tetapi buru-buru petugas memintanya beralih lokasi.

”Pak Ateng salah satu wali kota paling berwibawa. Ia mengungkapkan larangan itu secara lisan. Tak ada aturan tertulisnya. Sampai hari ini, dua jalur tersebut masih bebas dari reklame,” tutur Wid.

Di awal dekade 1990, bisnis reklame semakin menjanjikan, terutama didongkrak oleh iklan-iklan properti. Pemkot Bandung menangkap peluang itu dengan mengalihkan pengelolaan reklame, dari dinas pendapatan daerah (dispenda) ke dinas pertamanan. Pembongkaran spanduk dan baliho liar mulai menjadi program rutin pemkot.

Keluar dari hantaman krisis moneter pada 1997, pesona bisnis reklame makin mencorong mulai awal dekade 2000. Meledaknya layanan kredit uang muka murah sepeda motor, diikuti menjamurnya penggunaan telefon seluler, menjadi penyokong utama. Para pengusaha dari luar kota, terutama Jakarta, mulai melirik peluang usaha di Bandung.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat