CIMAHI, (PR).- Menjadi cikal bakal peringatan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) dan mendasari UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, warga adat Kampung Cireundeu menolak jika pemerintah menggunakan lokasi tragedi longsor sampah difungsikan kembali. Masyarakat berharap pemerintah dapat mengelola tempat tersebut untuk kegiatan berwawasan lingkungan sehingga bermanfaat lebih luas.
"Jangan sampai jadi TPA lagi, apapun bentuk dan sistemnya," ujarnya disela-sela prosesi peringatan tragedi longsor sampah TPA Leuwigajah di RW 10 Kel. Leuwigajah Kec. Cimahi Selatan Kota Cimahi, Rabu, 21 Februari 22018.
Sudah 13 tahun berlalu sejak 21 Februari 2005 ketika 157 jiwa lenyap dan dua kampung terhapus dari peta akibat longsoran sampah dari TPA Leuwigajah. Tragedi memilukan itu tidak akan terhapus dalam ingatan.
"Sudah cukup warga menderita selama lebih dari 20 tahun karena lokasi tempat tinggal mereka dijadikan tempat pembuangan akhir dengan sistem pengelolaannya yang tidak ramah lingkungan. Selain lingkungan menjadi tidak sehat, efek negatif lainnya kampung adat Cireundeu justru identik sebagai tempat sampah, bukan kampung adat," katanya.
Tanpa pengelolaan
Masyarakat adat berharap kepedulian pemerintah dalam mengelola tempat tersebut. Saat ini kondisinya seolah dibiarkan tanpa pengelolaan apapun.
"Baiknya jadi eco eduwisata yang ramah lingkungan, sehingga ada unsur edukasi juga unsur wisata lingkungan, sudah kami sampaikan tapi belum direspon pemerintah," ungkapnya.
Karena lahan tak dikelola, warga pun memanfaatkan untuk menanam sejumlah tanaman. "Lahan ini tidak diapa-apakan termasuk oleh pemerintah. Warga pun menanam singkong, pisang, dan tumbuh. Mungkin alam sudah kembali pulih," tuturnya.***