kievskiy.org

Halte Bus Susah Diakses Para Penyandang Disabilitas

ILUSTRASI selter bus./ DOK.PIKIRAN RAKYAT
ILUSTRASI selter bus./ DOK.PIKIRAN RAKYAT

BANDUNG, (PR).- Warga disabilitas meminta Pemerintah Kota Bandung melengkapi sistem transportasi publik dengan sarana yang layak diakses. Hampir seluruh halte yang telah terbangun belum memenuhi syarat aksesibilitas yang sesuai dengan kebutuhan warga disabilitas, khususnya tuna daksa.

“Yang butuh itu daksa, yang pakai kursi roda dan tongkat. Kami ingin naik angkutan umumnya dengan cara yang nyaman. Untuk daksa memerlukan shelter yang nyaman, harus akses. Halte di kita (Kota Bandung tergolong) tinggi,” ujar Aden Achmad, penyandang disabilitas dari BILIC (Bandung Independent Living Center) di Bandung, Jumat  9 Agustus 2019.

Jalur (ramp) khusus pengguna kursi roda di halte bus Kota Bandung kerap menyulitkan. Ketinggian elevasi bisa sampai lebih dari 7 derajat. Meski sering dibantu warga, ramp yang disediakan terlalu ekstrem untuk dilalui pengguna kursi roda. Akhirnya, para pengguna kursi roda tidak pernah menggunakan halte yang tersedia.

Padahal, kata Aden, ada azas dalam pembuatan ramp. Azas itu harus memenuhi unsur kemandirian, kenyamanan, kegunaan, dan keselamatan. Amanah UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mendorong pemerintah dan penyedia layanan bagi publik untuk menyediakan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas.

Dengan begitu, warga disabilitas dapat beraktivitas dengan mandiri, tanpa perlu dibantu orang lain, supaya dapat memanfaatkan fungsi layanan publik mendekati kesetaraan.

“Mengadakan aksesibilitas suka asal-asalan. Begitu (ramp halte) dicoba, harus didorong oleh orang lain. Tidak sesuai teknis. Padahal ada ukuran standar internasional. Banyak sarana publik dan swasta dengan prinsip yang penting ada, hanya demi meluluhkan kewajiban UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas,” tuturnya.

Terutama pengguna kursi roda, saat ini masih kesulitan dalam berpindah tujuan di Kota Bandung. Bagi sebagian warga disabilitas yang mampu, mereka memilih menggunakan taksi berbasis aplikasi. Kondisi aksesibilitas transportasi umum ini belum banyak berubah dari masa lalu.

“Dulu kami berjibaku pakai angkot. Yang ada kernet alhamdulillah bisa ngabantuan. Tetapi lama-lama dianggap ngaheurinan, kadang minta dibayar tarif dua penumpang,” kata Aden.

“Akhirnya kebanyakan penyandang disabilitas pakai motor hasil modifikasi, karena susah mengakses transportasi umum,” ujarnya.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat