kievskiy.org

Revisi UU 5/1999 Harus Perhatikan Iklim Perekonomian Nasional

JAKARTA, (PR).- Angota Badan Legislasi DPR RI Mukhamad Misbakhun berharap Revisi Undang Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat lebih mengedepankan iklim perekonomian nasional. Pasalnya, demokrasi ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa. "Dengan demikian akan tercipta iklim usaha yang sehat, efisiensi ekonomi serta berkeadilan sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar," kata anggota DPR Misbakhun di Jakarta, Kamis 1 Desember 2016. Menurut dia, filosofi UU 5/1999 adalah untuk menciptakan iklim yang jujur dan adil dalam berbisnis sehingga terwujud demokrasi ekonomi, adanya keseimbangan antara pelaku usaha dan kepentingan umum. Dengan adanya multi tafsir dalam subtansi UU 5/1999, maka perlu langkah penyempurnaan didalamnya. Adanya multi tafsir dan celah yang dirasakan oleh stake holders, memungkinkan terjadinya ketidakadilan dan ketidakpastian hukum. Dalam konteks inilah, langkah DPR melakukan amandemen UU 5/1999 diperlukan sehingga subtansi dan aturan didalamnya akan menciptakan lingkungan yang kondusif dan fair bagi pertumbuhan dunia usaha dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional secara menyeluruh. “Revisi UU harus menghindari dari akibat pada terciptanya lingkungan usaha yang tidak kondusif yang membuat ketakutan dunia usaha dan investor, sehingga berakibat pada kondisi ketidakstabilan perekonomian nasional,” tegas Misbakhun dalam seminar bertajuk "Arah Perubahan Kebijakan Persaingan Usaha". Tentang substansi penyempurnan revisi UU 5/1999, politisi Golkar ini mengatakan, revisi UU tersebut harus melindungi pelaku usaha kecil dan pelaku usaha dalam negeri. Kedua, besarnya potensi abuse of power dari KPPU terkait fungsi pelaporan, penyelidikan, penuntutan dan pemutusan yang berada dalam satu atap. Ketiga, dampak dari kesewenangan KPPU dalam memutuskan kartel adalah dapat menurunkan tingkat kepercayaan pelaku usaha kepada pemerintah. “Revisi UU 5/1999 bertujuan terciptanya iklim usaha yang sehat, tersedianya kepastian hukum, timbulnya rasa keadilan bukan hanya bagi pelaku usaha mikro hingga konglomerasi, namun juga konsumen. Dengan demikian, cita-cita pembangunan bidang ekonomi yang diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 terwujud,” katanya. Revisi UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mendapat dukungan penuh. Pasalnya, pengertian dari praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat saat ini kabur, sehingga membingungkan dunia usaha. Sementara itu, tim Ahli Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sutrisno Iwantono mengatakan, revisi UU tersebut perlu jika dilihat relevansinya dengan pertumbuhan ekonomi sosial dan politik negara saat ini. Bukan hanya sebatas mengenai kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menginginkan lebih. Iwantono juga mengharapkan agar pengusaha diajak bicara untuk membahas revisi UU tersebut karena merupakan salah satu stakeholder. "Jika nanti direvisi harus ada tolak ukur yang jelas. Apakah dua produk itu bersaing atau tidak, karena yang bisa menilai adalah konsumen bukan pengusahanya. Membuktikan kartel tidak mudah. Oleh karena itu, revisi harus mampu menciptakan iklim fairplay (adil) dalam berbisnis sehingga terwujud demokrasi ekonomi," ujarnya. Revisi harus disikapi bijak, bukannya memperburuk iklim usaha. Apalagi, ekonomi dunia tengah kurang kondusif sehingga para investor sangat hati-hati untuk menempatkan investasinya. Indonesia yang saat ini memiliki pertumbuhan ekonomi tiga terbaik di dunia diharapkan dapat memanfaatkan momentum ini untuk memperbaiki iklim usaha dalam negeri. Sebagai penjelasan, beberapa revisi antara lain perubahan denda pelanggaran UU persaingan usaha dari Rp 25 miliar menjadi maksimum 30% dari omzet dinilai memberatkan dunia usaha. Sebab, omzet yang tinggi tidak menandakan keuntungan yang tinggi sehingga perubahan denda itu bisa mematikan usaha. "Ini buat takut dan parno pengusaha, apalagi ada ancaman Rp 2 triliun dan hukuman 2 tahun. Ini berdampak kontraproduktif terhadap ekonomi," tegasnya. Untuk itu, Iwantono mengusulkan denda dihitung dari illegal profit atau dari keuntungan yang diperoleh oleh pelaku usaha dari perilaku usaha yang tidak sehat. Sementara mengenai penambahan kewenangan KPPU berupa penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan aset pelaku usaha, Iwantono mengatakan saat ini kewenangan KPPU sudah sangat kuat. Ia mengatakan, saat ini KPPU sudah mempunyai kewenangan bisa membuat laporan, memeriksa, menuntut hingga menyidangkan dan menjatuhkan putusan suatu kasus. Dengan kondisi saat ini saja, dirinya khawatir akan terjadi penyalahgunaan wewenang. Padahal, KPK saja tidak mempunyai kewenangan menyidangkan dan memvonis suatu kasus karena dilakukan di pengadilan Tipikor. Ketua Gabungan Pengusaha Pembibitan Unggas (GPPU) Krissantono mengharapkan, kedepannya revisi UU ini harus mengatur penetapan denda dengan kaidah perhitungan yang rasional dan masuk akal. Dampak dari kesewenangan KPPU dalam memutuskan kartel, bisa menurunkan tingkat kepercayaan pelaku usaha kepada pemerintah. Hal tersebut tentu bertentangan dengan konsep Nawacita Presiden Jokowi. Jika kepercayaan menurun maka akan mengurangi minat investasi. Padahal, presiden selalu menyampaikan perlunya investasi untuk pertumbuhan ekonomi dan mengatasi pengangguran. Di balik rugi secara materi, terutama bagi perusahaan terbuka, ada juga investor yang menunda investasinya ke Indonesia. Hal itu tak terlepas dari dugaan perusahaan melakukan kartel. "Masalah ini diikuti investor dan dipandang ada kartel. Kalau di luar negeri kartel itu jahat sekali setingkat narkoba. Jadi, yang mau tanam investasi ke investor tidak jadi karena di hold. Ada kerugian negara. Ada lima kedutaan yang sempat telepon kami, dari Perancis, Belanda, Korea, Tiongkok, dan Jepang. Mereka sempat tanya mengenai kegaduhan ini," ucap Krissantono.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat