BANGKA, (PR).- Indonesia tetap kesulitan menjadi penentu patokan harga timah dunia meskipun saat ini merupakan produsen terbesar kedua. Hal itu disebabkan karena Indonesia tidak memiliki stok timah nasional.
Ketua Asosiasi Ekspor Timah Indonesia (AETI) Jabin Sufianto mengatakan, pada umumnya penentu harga komoditas adalah pembeli dan penjual terbesar. Indonesia seharusnya memiliki pengaruh dalam menentukan harga patokan timah dunia karena merupakan produsen terbanyak setelah Cina. "Indonesia selalu masuk tiga besar dunia, yang pertama Cina, ketiga Myanmar,"ujar dia saat Peluncuran Program Reklamasi Berkelanjutan PT Refined Bangka Tin (RBT) di Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung, Selasa, 15 Agustus 2017.
Meskipun demikian, menurut Jabin, Indonesia sama sekali tidak memiliki cadangan timah nasional. Sebab 100 persen produksi timah Indonesia diekspor seluruhnya ke luar negeri. Hal itu menyebabkan Indonesia tidak memiliki posisi tawar dan terpaksa menjadi pengikut harga timah dunia. Dengan demikian, harga komoditas dunia yang jatuh langsung berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan.
"Selama belum ada stok nasional timah, mau mengotak ngatik bagaimanapun, Indonesia tidak bisa jadi harga patokan dunia,"ujarnya.
Jabin mengatakan, saat ini harga timah dunia mengalami kenaikan seperti komoditas lainnya. Tahun lalu harga timah dunia berkisar 19 ribu Dolar AS per ton. Sementara tahun ini harganya berkisar antara 19 ribu sampai 22 ribu ton Dolar AS per ton. Dia berharap harga komoditas tersebut bisa lebih baik lagi pada akhir tahun.
Kenaikan harga komoditas tersebut mengereka produksi timah Indonesia. Pada tahun 2016, menurut Jabin, produksi timah Indonesia sekitar 66 ribu ton. Sementara tahun ini produksi timah Indonesia diprediksi meningkat 10-15 persen menjadi 71-72 ribu ton.
Sementara itu, Direktur PT RBT Reza Andriansyah mengatakan dirinya optimis perusahaannya bisa melakukan ekspor batang timah sebesar 10-12 ribu ton pada tahun ini. Sampai akhir Juli 2017, perusahaannya telah melakukan ekspor sebesar lima ribu ton batang timah. Ekspor tersebut dikirim ke negara Amerika, Belanda, Jepang, Hongkong, Kore dan Cina. "Tahun kemarin ekspor hanya empat ribu ton karena kami sempat tidak beroperasi enam bulan,"ujar dia.
Reklamasi
Reza mengatakan, dirinya optimis jika harga komoditas yang naik bisa menjaga keberlangsungan pertambangan timah di Provinsi Bangka Belitung. Beberapa lahan tambang miliki perusahaannya sudah tidak digunakan lagi. Lahan ini sering disalahgunakan masyarakat sekitar untuk melakukan penambangan ilegal.
Oleh karena itu, menurut Reza, PT RBT melakukan reklamasi berkelanjutan agar lahan tersebut tidak digunakan lagi oleh masyarakat sekitar. Selain itu, reklamasi berkelanjutan ini juga memperbaiki kondisi lingkungan dan menciptakan alternatif lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar. "Kami melakukan reklamasi sebanyak 50 hektar yang ditanam buah-buahan sehingga bisa dibudidayakan oleh masyarakat sekitar,"ujar dia.***