kievskiy.org

Reduksi Perang Dagang, Pemerintah Harus Gencarkan Banyak Perjanjian 

MENTERI Perdagangan Enggartiasto Lukita (tengah) bersiap mengikuti rapat kerja dengan Komisi VI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 11 Februari 2019. Rapat tersebut membahas pengesahan protokol perubahan perjanjian Indonesia-Pakistan PTA dan persetujuan perdagangan bebas ASEAN-Hong Kong.*/ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
MENTERI Perdagangan Enggartiasto Lukita (tengah) bersiap mengikuti rapat kerja dengan Komisi VI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 11 Februari 2019. Rapat tersebut membahas pengesahan protokol perubahan perjanjian Indonesia-Pakistan PTA dan persetujuan perdagangan bebas ASEAN-Hong Kong.*/ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

JAKARTA, (PR).- Lobi dagang ke negara-negara nontradisional yang tengah digencarkan Kementerian Perdagangan (Kemendag) dipandang tepat dalam mereduksi risiko di tengah perang dagang global. Karena itu, penyelesaian free trade agreement (FTA) maupun preferential trade agreement (PTA) ke pasar baru potensial diharapkan terus digenjot dan lebih banyak diselesaikan sampai akhir tahun nanti. 

Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana menyatakan, visi dari pembuatan FTA dan PTA amat bagus karena bisa menjaring potensi pasar yang lebih besar guna mengganti hilangnya nilai ekspor ke Amerika Serikat (AS) maupun Tiongkok. “Kita akan lebih mudah berdagang dengan negara-negara yang mempunya perjanjian dagang dengan Indonesia,” ujarnya di Jakarta, Selasa, 30 Juli 2019. 

Saat ini, menurut dia, sudah banyak perjanjian dagang yang digagas dan diupayakan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. Namun, banyak di antaranya juga yang belum selesai. Ia berharap sampai akhir tahun, perjanjian dagang ke negara-negara Rusia, Asia Tengah, dan Asia Selatan bisa segera diselesaikan dan diimplementasikan. 

Danang berpendapat, negara-negara tersebut memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup baik di tengah gejolak global.  “Kalau kita bisa dagang ke mereka dengan lebih baik, bisa mengatasi masalah-masalah hubungan dengan Uni Eropa juga,” ujarnya. 

Dikatakan, penggencaran lobi pasar nontradisional untuk ke depannya juga mesti terus digiatkan. Ini untuk semakin mengurangi ketergantungan perdagangan dengan Tiongkok dan AS.  "Kalau tidak ada pembukaan pasar, kita semakin terpuruk. Artinya trade balance kita semakin merenggang karena dominasi kita ke AS kan tinggi ya,” paparnya lagi. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Tiongkok dan Amerika Serikat (AS) masih menjadi pasar utama bagi Indonesia. Dalam periode Januari-Juni, total nilai ekspor ke Tiongkok mencapai 11,40 miliar dolar AS, sementara nilai ekspor ke AS menyentuh 8,33 miliar dolar. Total nilai ekspor ke kedua negara tersebut mencapai 26,59 persen dari total ekspor Indonesia pada semester I-2019. 

Upaya pencarian pasar produk nasional oleh Kemendag juga diamati dewan. Anggota Komisi VI DPR-R, Juliari Batubara mengungkapkan, pencarian pasar ini menjadi bagus karena pasar komoditas yang telah sekian lama jadi andalan ekspor nasional sudah tidak lagi menggairahkan.  "Oleh karena itu memang sudah tugasnya Kementerian Perdagangan untuk mencari market baru,” kata Juliari.

Menurut dia, pemerintah perlu mengutamakan negara-negara yang mampu menyerap ekspor produk dengan volume yang sangat besar. Tujuannya agar kondisi neraca perdagangan nasional yang masih defisit bisa kembali positif. Apalagi, hal ini mengingat hambatan dagang yang coba dijatuhkan pada CPO Indonesia oleh negara-negara Eropa. 

Ia berharap, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perdagangan dapat menjadi pembuka jalan bagi para pebisnis. Jadi, produk nasional bisa mendapatkan kemudahaan masuk pasar mancanegara. Masalahnya disadari tidak banyak produk domestik yang memiliki daya saing yang tinggi. "Terus terang memang produk yang selama ini punya potensi di ekspor ya memang harus dibantu dicarikan marketnya,” imbuhnya. 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat