kievskiy.org

Kenapa Orang Sunda Suka Lalap? Ini Alasannya

Ilustrasi sayuran.
Ilustrasi sayuran. /Pixabay

PIKIRAN RAKYAT - Makanan orang Sunda selalu identik dengan lalap. Lalu sejak kapan dan kenapa tradisi memakan daun-daun mentah bersama sambal dan nasi itu berlangsung?

"Cara hidup masyarakat pribumi sangat sederhana. Makanan pokoknya adalah nasi, tanpa sup dan sebaiknya dimasak dengan uap, yang mereka sebut kukus, masyarakat biasanya makan beberapa sayuran mentah atau setengah matang," tulis Andries De Wilde dalam bukunya, Priangan.

Buku yang pertama kali diterbitkan pada 1829 tersebut memuat pengalaman Andries kala tinggal di wilayah Keresidenan Priangan. Andries juga mereka merekam aktivitas masyarakat lokal, termasuk pola makannya.

Catatan itu menunjukkan sayuran mentah atau yang kini dikenal sebagai lalapan sudah dikonsumsi masyarakat Priangan di abad ke-19. Andries mengungkapkan, masyarakat jarang menyembelih ayam. Paling banter mereka hanya memiliki sedikit Dingding atau Laoek toehoer, daging kering atau ikan kering. Minimnya masyarakat mengonsumsi daging juga digambarkan dalam pola makan siang dan malam hari. "Sebuah cabai, dan satu atau dua butir garam kasar, adalah teman makan pagi dan malam mereka di samping nasi. Setelah itu mereka minum beberapa gelas air."

Lalu kenapa warga lokal jarang mengonsumsi daging?

Barangkali jawaban tergambar dalam keterangan Andries terkait penindasan para bupati dan para kepalanya. Warga bukannya tak memiliki peternakan. Namun, para pimpinan mereka bersikap sewenang-wenang dan bisa mengambil aset-aset berharga itu. "Bupati mengambil paksa kuda, hewan-hewan ternak, dan segala sesuatu yang dia miliki di sana itu dari rakyat jelata," kata Andries.

Untuk menjual ternak seperti kerbau saja menjadi urusan yang ribet. Pemilik peternakan tidak boleh membawa kerbau muda untuk dijual ke luar wilayah kabupaten tanpa seizin kepala distrik dan bupati. Bahkan, pelarangan penjualan kerbau sering terjadi dengan dalih terjadi kekurangan hewan itu untuk pengangkutan kopi. Para pemilik kerbau, lanjut Andries, tidak bisa lagi memelihara tanpa kerugian dan kekurangan uang. Akhirnya, sang pemilik menjual hewan ternaknya itu ke Bupati atau kepala distrik berdasarkan harga yang dikehendaki para pejabat tersebut.

"Dan pada saat yang sama saat kerbau-kerbau harus dikerahkan untuk pengangkutan kopi, seperti yang diperintahkan, maka para bupati pun mengerahkan ratusan kerbau tersebut dengan surat izin Residen," tulis Andries. Sejarawan kuliner, Fadly Rahman juga membahas persoalan itu di jurnal Metahumaniora, Volume 8, Nomor 3 Desember 2018, Halaman 289-299 dengan tulisan bertajuk, Sunda dan Budaya Lalaban: Melacak Masa Lalu Budaya Makan Sunda.

Menurut Fadly, sebagai identitas pokok dari budaya Sunda, jejak lalap memang telah mengakar sejak masa kuno berdasarkan telaah terhadap bukti tinggalan tertulis dalam prasasti dan naskah. Fadly misalnya merujuk naskah Sunda abad ke-16 Sanghyang Siksa Kandang Karesian yang menyebutkan adanya konsumsi bahan mentah saat itu. Ia juga mencatat, pembudidayan hewan ternak secara sistematis pada abad ke-19 di Jawa dan berbagai wilayah setidaknya ikut meningkatkan konsumsi protein hewani di kalangan pribumi. Tetapi hal itu tak berlaku di wilayah Jawa Barat.

"Dari amatan orang-orang Eropa, populasi ternak di Jawa Barat ternyata rendah. Kondisi itu berpengaruh terhadap pad rendahnya konsumsi protein hewani di kalangan masyarakat Sunda," tulis Fadly.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat