kievskiy.org

Gaya Busana Harajuku Tak Lekang Dimakan Waktu, Punya Banyak Subtema

Ilustrasi gaya fesyen Harajuku
Ilustrasi gaya fesyen Harajuku /Freepik Freepik

PIKIRAN RAKYAT - Harajuku adalah istilah di ranah fashion yang diasosiasikan dengan gaya penampilan yang eksentrik. Dalam konteks ini, eksentrik dapat dideskripsikan sebagai perpaduan warna dan motif busana serta aksesori yang tampak tidak selaras. Sempat kembali tren tahun lalu seiring dengan kehadiran Citayam Fashion Week yang viral, nyatanya gaya Harajuku terus menginspirasi tren fashion hingga saat ini. 

Meski eksentrik, gaya ini begitu disukai. Rok tutu berwarna pink muda berbentuk megar, dipadu atasan bralet hitam bermanik-manik, serta luaran coat panjang berbahan bulu bermotif kulit macan tutul. Sementara kaki, ditutupi stoking motif polkadot dan dilengkapi sepatu bot hak tinggi berwarna kuning. Kalau dipikir-pikir, hanya orang-orang “berani” yang memadupadankan gaya tersebut. Akan tetapi ketika sudah dikenakan, ternyata gaya itu enak juga untuk dipandang. 

Di Indonesia, istilah gaya Harajuku mulai sering terdengar pada pertengahan dekade 2000an. Para pelakunya adalah anak-anak muda yang berani bereksperimen dalam berbusana. Selain itu, biasanya mereka juga para pecinta anime Jepang. 

Di kalangan selebritas dunia, gaya Harajuku sempat pula jadi andalan. Mereka yang tampak getol tampil dengan dandanan Harajuku antara lain adalah Gwen Stefani, Nicki Minaj, hingga Katy Perry. 

Dilansir dari Indonesia, gaya harajuku telah hadir sejak awal 1980-an. Tak sekadar ajang pamer busana, namun Harajuku juga disimbolkan sebagai gerakan perlawanan terhadap aturan sosial dan norma yang ketat di Jepang.

Harajuku juga dikenal karena penggunaan fashion yang nyentrik. Tak heran, bahkan banyak pria yang percaya diri walau tampil dengan rambut yang dicat pirang atau warna-warni. Rambut berwarna dengan gaya unik telah menjadi ciri khas utama dari street fashion Harajuku yang penuh kreativitas. 

Ekspresi nilai

Pada periode 1920an, Harajuku adalah kawasan yang memperlihatkan adanya percampuran dua kebudayaan, yaitu Jepang dan barat (khususnya AS). Kala itu, para perantau yang berasal dari kelas menengah ke atas di AS datang ke Jepang, tinggal di kawasan Harajuku, lalu membuka berbagai toko, termasuk gerai busana di daerah tersebut. 

Menurut laporan Japan Times, percampuran dua kebudayaan ini terus eksis sampai pada periode 1960an. Pada periode tersebut pula Harajuku jadi destinasi hiburan anak-anak muda AS. 

Memasuki periode 1960-1970an, distrik Harajuku jadi tempat tinggal seniman, desainer, dan insan kreatif Jepang. Alasannya: kawasan tersebut strategis untuk memamerkan karya-karya mereka. Harajuku pun semakin lama semakin ramai. Sampai-sampai pada periode 1980an, pemerintah Jepang menetapkan kebijakan hari bebas kendaraan bermotor pada akhir pekan agar distrik tersebut tidak terasa terlalu berisik. 

Setiap akhir pekan, anak muda berkumpul di Harajuku dan mengisi waktu dengan melakukan kegiatan seperti bermain musik, berdansa, membuat pertunjukan tari, atau sekadar pelesiran sambil mengenakan pakaian yang aneh. Kemunculan gaya Ura Harajuku pada era 1990an menandai kian mewabahnya gaya harajuku. 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat