kievskiy.org

Hubungan Puasa Intermiten dan Penyakit Jantung, Bahaya atau Baik?

Ilustrasi puasa.
Ilustrasi puasa. /Freepik/user14908974

PIKIRAN RAKYAT - Puasa intermiten, sebuah pola makan yang melibatkan siklus antara berpuasa dan makan dalam jendela waktu tertentu, menjadi topik kontroversial setelah sebuah penelitian terbaru menemukan hubungan antara pola makan ini dan risiko kematian yang lebih tinggi akibat penyakit jantung.

Dikutip dari Medical Daily pada Rabu, pola makan puasa intermiten seperti teknik 16/8 (berpuasa selama 16 jam dan makan dalam jendela waktu delapan jam) atau metode 14/10 (puasa selama 14 jam diikuti dengan periode makan 10 jam) menjadi populer sebagai metode untuk menurunkan berat badan dan meningkatkan kesehatan jantung.

Namun, studi yang dipimpin oleh Victor Wenze Zhong dari Sekolah Kedokteran Universitas Jiao Tong Shanghai di Shanghai, China, mengungkapkan bahwa pola makan terbatas waktu, terutama dengan jendela makan 8 jam, dapat berhubungan dengan risiko kematian yang lebih tinggi akibat penyakit kardiovaskular.

Studi ini melibatkan lebih dari 20 ribu orang dewasa dengan rata-rata usia 49 tahun.

Hasilnya menunjukkan bahwa orang yang mengikuti jadwal makan terbatas waktu 8 jam memiliki risiko kematian akibat penyakit kardiovaskular 91 persen lebih tinggi.

Tak hanya itu, risiko kematian akibat penyakit jantung atau stroke juga meningkat 66 persen bagi orang yang memiliki penyakit kardiovaskular dan mengonsumsi makan dalam waktu setidaknya 8 jam tetapi kurang dari 10 jam per hari.

Meskipun demikian, penelitian ini tidak menunjukkan bahwa pola makan terbatas waktu secara langsung menyebabkan kematian akibat penyakit kardiovaskular. Namun, hubungan yang ditemukan antara jendela makan 8 jam dan risiko kematian tersebut memperkuat perlunya pendekatan yang lebih hati-hati dan personal dalam merekomendasikan diet, terutama bagi individu dengan kondisi jantung atau kanker.

Penelitian ini menyoroti pentingnya kesadaran akan dampak kesehatan jangka panjang dari pola makan tertentu, serta perlunya pendekatan yang disesuaikan dengan kebutuhan kesehatan individu dan bukti ilmiah terbaru.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat