kievskiy.org

Petani Majalengka Biarkan Tanaman Cabai tak Terurus

PEDAGANG cabai sedang menyortir cabai merah di Pasar Majalengka, Senin (19/10/2015). Harga cabai di tingkat petani kini anjlok hingga 2.000 per kg. Kini banyak petani yang membiarkan tanamannya tidak dipetik bahkan tidak dipelihara.*
PEDAGANG cabai sedang menyortir cabai merah di Pasar Majalengka, Senin (19/10/2015). Harga cabai di tingkat petani kini anjlok hingga 2.000 per kg. Kini banyak petani yang membiarkan tanamannya tidak dipetik bahkan tidak dipelihara.*

MAJALENGKA,(PRLM).- Sejumlah petani cabai merah di Kecamatan Kertajati mengeluhkan anjloknya harga cabai merah yang hanya mencapai Rp 2.000 per kg, kondisi tersebut telah berlangsung hingga satu bulan terakhir. Akibat murahnya harga banyak petani yang membiarkan tanamannya tidak disiram dan dibiarkan tidak terpelihara, karena bila dipelihara kerugian akan semakin besar. Entat (54) petani asal Desa Sukamulya, Suharna (45) dan Yani (25) serta Toto (50) petani di Desa Pasiripis, Kecamatan Kertajati mengatakan, anjloknya harga cabai merah tahun ini adalah terparah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Beberapa tahun lalu petani selalu meraup keuntungan besar dari bertani cabai, makanya petani di dua desa Sukamulya dan Pasiripis yang menjadi sentra perkebunan cabai setiap tahun berupaya menanam selepas musim panen pertama. “Tahun lalu harga cabai mencapai Rp 50.000 per kilogram di tingkat petani, kalaupun turun hanya di kisaran Rp 15.000 per kg. Sekarang harga benar-benar hancur petani semua merugi,” ungkap Entat. Disampaikan Suharna, harga paling tinggi tahun ini hanya mencapai Rp 22.000 per kg di tingkat petani, itu terjadi pada awal September, setelah itu harga terus merosot hingga Rp 2.000 per kilogram untuk cabai merah super, sedangkan cabai hijau hanya Rp 1.000 per kilogram. Dengan harga Rp 2.000 per kg, menurut Suharna, hasil panen tidak akan menutupi biaya produksi terlebih saat ini upah kerja di wilayahnya telah mencapai Rp 80.000 setengah hari untuk pekerja laki-laki dan Rp 40.000 untuk pekerja perempuan. “Saya saja sekarang menanam cabai hampir dua bau, seluas satu bau di antaranya sudah dipanen empat kali, satu bau lagi belum dipanen sama sekali dan kini sudah sebulan dibiarkan tak dipelihara, malah di lihatpun tidak. Malas karena harganya ancur,” kata Suharna. Biaya produksi untuk tanaman cabai seluas satu bau (500 bata) bisa menghabiskan hingga Rp 15.000.000. Itu untuk sewa traktor, upah kerja, pupuk dan obat-obatan. Apalagi disaat kemarau seperti sekarang harus ditambah dengan biaya pengairan menggunakan pompa air yang setiap jamnya mencapai Rp 35.000. Sementara untuk mengairi areal tanaman cabai seluas 1 bau bisa menghabiskan waktu hingga 20 jaman. Itu dilakukan seminggu sekali. Hal senada disampaikan Toto dan Yani, menurut mereka kini banyak petani yang membiarkan tanaman cabenya tidak dipelihara malah cabai yang sudah merah pun tidak dipetik, karena bila dipelihara justru akan merugi. Terkecuali yang dikerjakan petani sendiri tanpa menyuruh orang lain. “Kalau cabai dipetik sendiri mungkin masih bisa memperoleh uang meski kecil tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan, karena masih harus mengeluarkan biaya transportasi dari kebun ke rumah atau ke bandar. Tapi kalau memetik mengandalkan orang lain akan rugi karena upah kerja seorang saja mencapai Rp 75.000 hingga Rp 80.000 per orang, upah sebesar itu belum termasuk kopi, makanan ringan dan rokok,” jelas Toto. Makanya tak heran bila banyak petani yang membiarkan tanamannya kekeringan atau cabainya tidak dipanen. Sementara itu harga cabai merah pasar tradisional di Majalengka kini mencapai Rp 3.000 hingga Rp 4.000 per kg, sedangkan cabe hijau menapai Rp 5.000 per kg. Camat Kertajati Amin Aminudin mengatakan, areal tanaman cabai di dua desa Sukamulya dan Pasiripis mencapai kurang lebih 100 hektare. Para petani tersebut setiap tahun menanam cabai merah, dan semangka selepas tanaman padi musim panen pertama. Karena kawasan tersebut hampir seluruhnya sawah tadah hujan. Sistim pengairan disaat kemarau seluruhnya menggunakan pompa air dan sumur pantek.(Tati Purnawati/A-147)***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat