kievskiy.org

90 Persen Sungai di Cirebon Tercemar

SUNGAI tercemar limbah batu alam yang menjadi industri mayoritas di kawasan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon, Jumat 29 Juli 2016. Selain limbah, terdapat pula sampah yang berdampak pada warna, aroma, dan kandungan air sungai yang berada tepat di permukiman warga.*
SUNGAI tercemar limbah batu alam yang menjadi industri mayoritas di kawasan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon, Jumat 29 Juli 2016. Selain limbah, terdapat pula sampah yang berdampak pada warna, aroma, dan kandungan air sungai yang berada tepat di permukiman warga.*

SUMBER, (PR).- Sungai di wilayah Cirebon mengalami kerusakan hingga 90 persen dan mayoritas sungai tersebut tercemar berat. Secara persentase, 80 persen kerusakan disebabkan manusia sementara 20 persen sisanya disebabkan faktor alam. Demikian disampaikan Kepala Forum Sungai Cirebon Bambang Sasongko. Kerusakan yang terjadi semakin berlarut-larut akibat semakin buruknya perilaku manusia yang memicu kerusakan sungai. Salah satunya adalah bertumbuhnya pemukiman dan industri di sekitar sungai. ”Semakin banyak didirikan pabrik yang merusak sungai, dari hulu, tengah, dan hilir. Sekarang mengubah perilaku manusia menjadi hal yang dititikberatkan,” kata Bambang, Jumat 29 Juli 2016. Dari 54 kilometer pesisir pantai, terdapat 18 sungai dengan 7 sungai di antaranya sudah tercemar berat. Sungai-sungai tersebut adalah Sungai Ciberes, Sungai Cipager, Sungai Cimanis, Sungai Jamblang, Sungai Kumpul Kuista, dan Sungai Soka. Menurut Bambang, Sungai Jamblang mengalami kerusakan paling berat. Kerusakan yang disebabkan maraknya industri batu alam di kawasan tersebut menjadi persoalan paling berat. Terdapat 1.000 mg/liter zat padat terlarut dalam sungai tersebut. Jumlah tersebut dikatakan telah melebihi ambang batas maksimal. Upaya untuk menggandeng Kemententrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk memberikan bantuan pun ditempuh Bambang. Bantuan dikhususkan untuk pembuatan IPAL di sekitar lokasi industri batu alam yang mayoritas mencemari Sungai Jamblang. ”Bekerjasama dengan BLHD, pembangunan IPAL komunal harus dilakukan. Hanya saja, belum terealisasi hingga saat ini,” ucapnya. Desa Balad, Kecamatan Dukupuntang, dipilih oleh KLHK untuk dibutakan IPAL komunal. Namun, pemda yang menggadang-gadang telah menyediakan lahan untuk membuat IPAL komunal pun belum mampu membuktikan kepemilikan lahan di lokasi tersebut. BLHD yang diharapkan mampu merealisasikan pembangunan, justru menolak ajuan lokasi tersebut. Hal itu kemudian menyebabkan proyek pengerjaan IPAL berusaha diambil alih oleh komunitas pecinta lingkungan. Tidak berhenti pada persoala IPAL, kompleksitas persoalan sungai ditambah oleh posisi Cirebon yang berada di tengah dan bukan di hulu. Hal itu berpengaruh pada permasalahan sungai yang semakin berat mengingat hulu sungai yang sebagian besar berada di kawasan Kuningan dan Majalengka berdampak pada kelangsungan sungai di tengah dan hilir.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat