kievskiy.org

Parameter Berbeda-beda, Angka Kemiskinan di Cianjur Simpang Siur

Sejumlah tunawisma memenuhi trotoar di kawasan Masjid Agung, Kabupaten Cianjur, belum lama ini. Ketiadaan data ril angka kemiskinan, membuat pemberian bantuan bagi rakyat miskin kurang merata karena data yang cenderung variatif di setiap dinas terkait.*
Sejumlah tunawisma memenuhi trotoar di kawasan Masjid Agung, Kabupaten Cianjur, belum lama ini. Ketiadaan data ril angka kemiskinan, membuat pemberian bantuan bagi rakyat miskin kurang merata karena data yang cenderung variatif di setiap dinas terkait.*

CIANJUR, (PR).- Angka kemiskinan di Kabupaten Cianjur masih simpang siur karena data lapangan yang berbeda-beda. Sampai saat ini belum ada satu kesepakatan yang sama dalam metode pendataan jumlah masyarakat miskin. Sejumlah instansi pun memiliki metode, parameter, dan data akhir yang tidak seragam.

Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Cianjur Sapturo mengatakan, data yang variatif tersebut berimbas pada munculnya persentase kemiskinan yang cukup tinggi. Dari 2,3 juta jiwa penduduk Kabupaten Cianjur, saat ini dikatakan hampir 40 persennya merupakan masyarakat miskin.

”Itu berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Cianjur. Mereka menyatakan, penerima Kartu Indonesia Sehat (KIS) mencapai lebih dari 1 juta orang. Artinya hampir setengah jiwa penduduk Cianjur merupakan masyarakat miskin,” ujar Sapturo.

Selain data Dinas Kesehatan, berdasarkan Peraturan Bupati Nomor 11 Tahun 2004 tercatat, Cianjur memiliki 51 ribu masyarakat miskin yang terdaftar di Jamkesda. Belum lagi, data Dinas Sosial menyebutkan, berdasarkan Program Keluarga Harapan (PKH) terdapat 300 ribu penduduk yang menjadi penerima bantuan program tersebut.

Dengan demikian, jika dijumlahkan dapat dikatakan jika setengah dari total penduduk Cianjur tergolong sebagai masyarakat miskin. Hal tersebut, diakui Sapturo kurang rasional. Apalagi, menurutnya setengah populasi masyarakat dikategorikan miskin adalah sesuatu yang memprihatinkan.

Indikator tidak jelas

”Perlu dipertanyakan, kenapa bisa muncul angka-angka itu. Karena parameter yang digunakan pun berbeda-beda, akhirnya data akhirnya pun berbeda. Setiap instansi punya ketentuan masing-masing, padahal itu membuat indikator kemiskinan tidak jelas,” katanya.

Hingga saat ini, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan (DPPKBP), dan Badan Pusat Statistik (BPS) diakui Sapturo memiliki parameter yang beragam untuk mengategorikan masyarakat miskin.

Oleh karena itu, DPRD pun memfasilitasi seluruh instansi yang melakukan pendataan kemiskinan untuk menyatupadukan data. Sapturo mengungkapkan, instansi terkait perlu memadukan parameter kemiskinan, atau paling tidak lebih dulu menentukan parameter kriteria miskin secara terpadu.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat