CIREBON, (PR).- Pemerintah didorong untuk membentuk badan usaha yang mengurusi garam agar harga garam stabil. Badan penyangga garam juga perlu dibentuk agar harga garam tidak jatuh drastis saat terjadi produksi berlebih.
Menurut Ketua Asosiasi Petani Garam Seluruh Indonesia (Apgasi) Jawa Barat, M. Taufik, pembentukan badan usaha garam merupakan bentuk nyata kepedulian pemerintah terhadap masyarakat garam. “Badan usaha di daerah khusus mengelola garam mutlak harus ada,” katanya.
Menurutnya, badan usaha khusus mengurusi garam di daerah itulah yang akan melakukan tugas dan kewenangannyan sebagai penyangga harga garam di daerah. Sehingga saat hasil garam dari petani melimpah, bisa dibeli oleh mereka. “Sehingga saat garam produksinya over, tidak otomatis harga jatuh sekali,” kata Taufik.
Taufik menyatakan, sebenarnya sudah ada Peraturan Menteri Perdagangan No 125 tahun 2015 tentang Tata Niaga Garam.
Dalam peraturan menteri disebutkan, garam K1 dihargai Rp 750/kg dan garam K2 dihargai Rp 550/kg. “Hanya saja aturan tersebut
hingga kini tidak bisa diterapkan,” ungkap Taufik.
Faktanya, kata Taufik, kalau produksi garam sudah over, harga garam hanya dihargai Rp 250/kg, kurang dari 50% dari harga garam paling muraj yang ditetapkan pemerintan.
Susahnya penerapan aturan itu, karena hingga kini tidak ada lembaga khusus yang menyokong pembelian garam dari petani sesuai dengan aturan menteri tersebut. “Kalau beras sudah ada Bulog, nah kalau di garam tidak ada,” kata Taufik.
Ketiadaan badan khusus yang mengurusi garam, akhirnya menyebabkan harga garam terjun bebas saat memasuki puncak produksi. Bagi petani garam skala besar, yang memiliki gudang penyimpanan, menyimpan sendiri produksi garamnya sambil menunggu harga membaik, menjadi pilihan utama.
Tujuannya sudah jelas, agar mereka tidak terlalu merugi dan saat harga tinggi garam itu bisa dijual kembali. Namun petani hanya bisa menyimpan garam yang usianya sudah tua, untuk menghindari penyusutan. “Kalau garam usia muda disimpan, akan terjadi penyusutan,” kata Taufik.