KEBUMEN itu berasal kata dari ”kebumian” dengan kata dasar ”bumi”. Di tempat inilah terdapat tonggak ”titik nol” yang merupakan pengambilan jarak dengan berbagai kota, baik ke arah utara, barat maupun timur.
”Kebumen” merupakan tempat berbagai artefak dan bangunan cagar budaya. Di sekitarnya, di samping alun-alun berupa kawasan juga terdapat gereja yang dibangun Pemerintah Kolonial Belanda, Santo Yosef, gedung bundar yang berbentuk peluru, deretan bangunan art deco yang terdiri atas Kantor Pos, perbankan, hingga ke selatan Jalan Kesunean dan Kasepuhan. Di situ masih berdiri tegak tiga keraton dan satu peguron, masing-masing Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan, dan Keprabonan.
Sepanjang jalur itulah yang merupakan ”kota tua” yang hingga kini masih menyimpan kekayaan budaya, sekaligus legenda dan mitos yang melengkapi berbagai kisah masyarakat Cirebon. Di sekitar tempat itu, ke arah utara (sebelah timur bekas Pabrik Rokok BAT) terdapat sebuah gedung bekas Kantor Kejaksaan Negeri Cirebon yang kini ditempati sebagai Kantor Dinas Penanaman Modal, Pelayanan, dan Perizinan Terpadu, bakal dibangun museum Diorama Sejarah Pemerintah Kota Cirebon.
”Kami tinggal menunggu Surat Keputusan Walikota saja,” kata Kepala Dinas Perpustakaan dan Arsip Kota Cirebon, Mohammad Korneli. Luas bangunan untuk diorama tersebut sekira 7.000 m2 dengan rencana anggaran Rp 10 miliar.
PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Perwakilan Persiapan Cirebon pada awal 1980-an pernah berkantor di lingkungan kantor karesidenan tersebut. Ketua PWI-nya saat itu adalah Madira Aedy Yahya (almarhum) dari HU Pikiran Rakyat. Residen terakhir yang berkantor di tempat itu adalah Achmad Endang yang kemudian pada 1982 dipindahkan ke Gedung Negara Jalan Siliwangi ujung.
Gedung Karesidenan yang dibangun pada 1842 ini memiliki gaya arsitektur neoklasik. Suatu model yang sangat populer pada pertengahan abad ke-19 di Eropa. Cirinya adalah penopang bangunan (tiang) dalam bentuk bulat panjang. Greco-Roman, begitu kalangan pakar arsitektur klasik menamakan model bangunan tersebut. Pengaruhnya sangat terasa sekali di Nusantara (baca : Hindia Belanda saat itu). Bangunan-bangunan bertiang bulat dengan model Yunani – Romawi bertebaran di pusat-pusat pemerintahan.
Meski demikian, pada bangunan Kantor Residen di Jalan Yos Sudarso ini masih memiliki gaya arsitektur lokal. Lihat saja pada atapnya yang memiliki gaya pendopo Jawa. Berbentuk joglo dan dilingkari tiang penyanggah yang kokoh. Arsitektur neoklasik yang berkembang di Eropa dan Amerika utara pada sekira 1750 hingga 1800-an, ditandai dengan munculnya kembali Greco-Roman (Yunani-Romawi) dianggap sebagai kebangkitan pemikiran klasik yang mempengaruhi sistem politik saat itu.
![](https://kievskiy.org/#STATIC#/public/image/2018/02/kebumen titik nol cirebon (2).jpg)
Format ideal
Seni arsitektur neoklasikal pada mulanya dicari untuk menggantikan pengertian mengenai sikap peremehan dari gaya rococo (arsitektur abad 18) dengan suatu gaya yang logis, khidmat pada nada dan bersifat menggurui. Gaya neoklasikal yang dikembangkan mengikuti hasil penggalian dari reruntuhan Kota Herculaneum Italia tahun 1738 dan Pompei 1748. Sejarawan dan seniman Jerman Johann Winckelmann yang terus melakukan eksplorasi dan ”meniru” format ideal dari gaya tersebut. (Encarta reference Library 2006).