SINGAPARNA, (PR).- Praktik pembakaran jerami sawah, semak, serta rerumputan di kebun warga saat musim kemarau masih menjadi tradisi di wilayah Kabupaten Tasikmalaya. Padahal, tradisi tersebut bisa memicu munculnya titik api yang merembet menjadi kebakaran dengan skala luas.
Pantauan Pikiran Rakyat, praktik pembakaran jerami tampak di kawasan pesawahan Sukaratu dan Cisayong, Rabu, 11 September 2019. Pembakaran tersebut membuat sebagian wilayah Desa Santanamekar, Kecamatan Cisayong berselimut asap saat itu.
Bahkan, kepulan asap itu bisa terlihat langsung dari Jalan Ciawi-Singaparna (Cisinga). Lokasi pembakaran jerami itu berada di sekitar lembah di Kampung Cigaleuh, Desa Santanamekar.
Di sana, tumpukan jerami di bakar di area pesawahan yang telah mengering. Letak Cigaleuh pun berada di bawah kawasan hutan Gunung Galunggung.
Kepala Dusun Cigaleuh Mamat Rahmat mengakui pembakaran jerami telah menjadi kebiasaan warga. Tangkai padi yang kering itu dibakar agar para petani gampang mengolah sawahnya saat musim hujan tiba.
"Sebelum hujan, (petani) mau nanam tidak sudah lagi," ujarnya.
Petani hanya tinggal mengolah sawah tanpa perlu lagi membuang jerami lantaran telah musnah dibakar. Cara tersebut dinilai lebih cepat ketimbang memanfaatkan jerami untuk dibuat sebagai pupuk.
Pemerintah pun tak bisa berbuat apa-apa, karena lahan sawah memang milik warga serta kebiasaan membakar jerami telah menjadi kebiasaan. Mamat menilai, praktik pembakaran itu tetap aman. Soalnya, warga membakar di lokasi tertentu seperti area sawah dengan cara menumpuk jeraminya. Dengan demikian, api diyakini tak bakal menjalar.
Semak dan rumput
Tak hanya sawah, lanjut Mamat, kebun warga yang dipenuhi semak dan rumput juga dibersihkan dengan cara dibakar. Sisa pembakaran kebun serta tampak di wilayah Sukaratu. Rumput atau semak dan tumpukan jerami yang sudah terbakar terlihat menghitam.