kievskiy.org

Cerita Orang Tionghoa Dilarang Masuk ke Jawa Barat Tempo Dulu

Interior toko Tionghoa yang diperkiraka  berlokasi di Bandung sekitar 1920.
Interior toko Tionghoa yang diperkiraka berlokasi di Bandung sekitar 1920. /Tangkapan layar situs Universiteit Leiden

PIKIRAN RAKYAT - Stigma dan stereotipe buruk kerap melekat terhadap warga Tionghoa yang tinggal di negeri ini sejak lama. Tempo dulu, di Jawa Barat, larangan akan kehadiran mereka juga muncul. Jika ditelisik, cap negatif itu justru muncul akibat tindakan penguasa dari zaman Belanda hingga merdeka.

"Khusus untuk Orang Cina, mereka harus dilarang untuk masuk ke tanah Priangan, sejauh mereka tidak dibutuhkan sebagai pengrajin dan kita harus mendorong masyarakat pribumi untuk berdagang dan membuat kerajinan," tulis Andries De Wilde dalam bukunya, Priangan. Pengusaha perkebunan yang menerbitkan buku itu pada 1829 dan 1830 itu memaparkan alasan mengapa Tatar Priangan tertutup bagi orang Tionghoa.

"Begitu orang Cina bersarang di suatu tempat, maka mereka akan mengambil manfaat yang seharusnya dinikmati oleh masyarakat pribumi," kata Andries. Pandangan negatifnya juga muncul mengenai produksi dan penjualan gula aren jika warga lokal terlalu bergantung sepenuhnya kepada orang Tionghoa.

Cap buruk juga muncul di Depok. Pendiri wilayah itu, Cornelis Chastelein, yang hidup dalam kurun 1657-1714, memiliki ketidaksukaan terhadap warga Tionghoa. Hal tersebut tercatat dalam dokumennya berjudul Invalallende Gedagten atau Buah Pikiran sebagai tertera dalam buku, Jejak-Jejak Masa Lalu Depok: Warisan Cornelis Chastelein (1657-1714) kepada Para Budaknya yang Dibebaskan karya Jan-Karel Kwisthout.

Baca Juga: Sejarah dan Tujuan G30S PKI, Upaya Ubah Ideologi Indonesia dari Pancasila Jadi Komunis

"Orang-orang Tionghoa, yang menjelajah seluruh negeri dan tidak peduli dengan cara bagaimana mendapat uang, sangat licik dan pintar membujuk untuk menerobos ke semua tempat, di mana mereka bisa mendapatkan sekecil apa pun." Pandangan itu membuat Chastelein melarang orang-orang Tionghoa masuk Depok.

Bahkan, hak untuk lewat melalui jalan darat pun harus ditolak. Soalnya, Chastelein menilai, mereka tidak punya urusan di situ serta Depok terletak dua hingga tiga ratus roede (ukuran jarak lama) dari jalan terusan.

"Jalan terusan yang dimaksud oleh Chastelein barangkali merupakan rute dari utara ke selatan yang melewati desa Depok, nyaris sejajar dengan Tjiliwoeng," tulis Jan-Karel Kwisthout. Orang-orang Depok, lanjutnya, selalu cukup menaati instruksi tersebut, bahkan hingga abad ke-20.

"Misalnya, pada awal abad tersebut, ada orang Tionghoa yang mempunyai toko kecil di Depok. Akan tetapi, oleh pemerintah desa ia tidak diperbolehkan memasuki tanah itu sebelum matahari terbit, dan sebelum matahari terbenam ia sudah harus meninggalkan tanah itu lagi," tulis Jan.

Akibat tak boleh tinggal di tokonya, orang Tionghoa memiliki rumah di pertanahan Pondok Cina. Jan juga menyampaikan laporan Beukhof yang mengunjungi Depok pada 1864. Laporan itu menyebutkan kehadiran seorang Tionghoa yang telah 25 tahun menyewa pabrik batu bata dan genteng. Namun pada 1867, orang-orang Depok menghentikan kontrak serta mengambil alih pengelolaan pabrik itu.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat