kievskiy.org

Caleg dan Dilema Pemilu

ILUSTRASI pencoblosan tps pemilu KPU pileg.*/DOK.PIKIRAN RAKYAT
ILUSTRASI pencoblosan tps pemilu KPU pileg.*/DOK.PIKIRAN RAKYAT

DI tengah hiruk pikuk perhelatan pemilihan presiden (pilpres), tidak banyak yang memperhatikan dinamika yang terjadi pada skema persaingan pemilihan legislatif (pileg). Padahal di sinilah dinamika sesungguhnya paling keras terjadi.

Para calon anggota legislatif (caleg), selain berusaha memenangkan dirinya, mereka juga dibebankan amanat untuk juga memenangkan partai, dan capres usungan partainya. Situasi ini melahirkan dilema di satu sisi, tapi juga keuntungan di sini lain.

Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa pileg kali ini terlangsung bersamaan dengan pilpres. Persoalannya, gaung pilpres kali ini terasa lebih dominan, sehingga, setiap wacana politik selalu diasosiasikan dengan skema persaingan tersebut. Banyak pengamat yang mengkhawatirkan persoalan ini. Mengingat, masih terlalu banyak isu dan permasalahan yang akhirnya tenggelam, atau tidak mendapat perhatian memadai.

Mungkin sejak Pilpres 2014, skema ini terus mewarnai dinamika politik di Indonesia. Seperti terjadi “pembalseman” pada artefak Pilpres 2014 lalu, sehingga polarisasi massa pasca pilpres terus berlangsung tanpa jeda. Saat ini, juga mulai membentuk patern budaya politik yang sarat konflik.  Hampir semua isu politik, momen politik, dan agenda politik yang terjadi di negara ini, selalu membelah opini masyarakat ke dalam dua kubu yang konfrontatif dan saling menghujat.  Ironisnya, semakin lama keberpihakan keduanya semakin terikat pada orientasi figur, bukan gagasan.

Orientasi keberpihakan pada figur telah menjadikan nalar subjektif berkembang luas.  Akhirnya, populisme dan hukum besi kuantitatif berlaku di alam demokrasi kita. Akibatnya, tidak ada figur-figur alternatif yang bisa muncul ke puncak elektabilitas dalam lima tahun terakhir. Siapapun akhirnya akan diidentifikasi orientasi keberpihakannya pada figur Jokowi atau Prabowo.

Pada tahap selanjutnya, skema persaingan pilpres tersebut melahirkan jenis dinamika politik yang cacat. Orientasi populisme politik, dan politik asosiasi menjadi berkembang luas, sehingga para tokoh dan politisi di negara ini lebih mengejar stigma asosiasi dirinya dengan kedua figur capres, daripada bekerja merumuskan satu prinsip atau visi masa depan politik yang otentik.

Terbukti, hingga saat ini tidak satu pun dari nama-nama politisi yang muncul ke permukaan membawa sebuah konsep yang luas diperbincangkan, dan menjadi isu nasional. Semua isu yang muncul sejauh ini dipaksa kembali pada satu dari dua konklusi, “tetap Jokowi” atau “ganti presiden”.

Sebagai perbandingannya, bila kita sedikit menengok ke era awal pasca Reformasi, terlihat sangat kontras dengan situasi saat ini. Setelah lengsernya Orde Baru, bangsa ini memiliki begitu banyak pilihan kandidat yang memberanikan diri tampil menjadi capres dan mampu menawarkan konsep alternatif.  Sedang hari ini, alih-alih menyajikan alternatif kandidat presiden, atau alternatif narasi politik, target realistis setiap parpol hanyalah menjadi wakil presiden Jokowi atau Prabowo. Dari perspektif demokrasi, realitas ini jelas mencemaskan.

Dilema caleg

Secara sederhana kita bisa memahami, bahwa di tengah pattern skema politik seperti inilah para caleg berjuang. Sebagai caleg mereka harus memperjuangkan dirinya agar dipilih. Sedang tingkat elektabiltasnya sangat bergantung dari sejauh apa persepsi asosiasi dirinya dengan kedua figur capres. Kondisi ini jelas melahirkan dilema. Mereka harus beradaptasi dengan skema politik yang ada.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat