DERU kui wa utareru (paku yang menonjol harus dipukul) tampak seperti tidak memberi kemerdekaan belajar. Beberapa pihak menuding, pepatah ini sebagai monster yang membunuh kreativitas berpikir anak-anak muda di Jepang. Benarkah demikian ?
Deru kui wa utareru sering dijadikan dalih ketika murid-murid di Jepang tidak antusias ketika diajak diskusi. Mereka lebih memilih diam, dan hanya bicara jika diminta.
Penekanan pada keharmonisan menjadikan segala bentuk penonjolan diri harus dicegah. Itulah sebabnya, mereka menyembunyikan gagasan cemerlangnya.
Mereka yang tampak tidak antusias dan hanya diam saat diskusi, ketika dipanggil namanya dan diminta tanggapannya, mampu menyampaikan gagasan yang hebat. Ini yang mengesankan.
Alih-alih merampas kemerdekaan berpikir, penanaman deru kui wa utareru mendidik murid untuk berempati, menjaga kebersamaan, tidak menonjol-nonjolkan diri.
Nilai ini tidak menganjurkan orang tampak hebat, namun mengajarkan bersikap keras terhadap diri sendiri. Alih-alih berkompetisi, nilai ini mengajarkan anak untuk bekerjasama dengan siapa pun.
Baca Juga: Catat, Berikut 10 Tanggal Penting Pendaftaran SNMPTN 2020
Mereka tidak bersaing dengan orang lain, namun persaingan diarahkan ke dalam, dan setiap orang berusaha memenangkan sikap rajin, bekerja keras, pantang menyerah melawan kemalasan, kerja asal-asalan, dan mudah bertekuk lutut.