kievskiy.org

Nilai Budaya Bangsa Jauh dari Semangat UUD 1945

YAYASAN Suluh Nuswantara Bakti (YSNB) kembali melaksanakan Diskusi Panel Serial dengan tema “Sejarah Peradaban dan Pancasila”.*
YAYASAN Suluh Nuswantara Bakti (YSNB) kembali melaksanakan Diskusi Panel Serial dengan tema “Sejarah Peradaban dan Pancasila”.*

JAKARTA, (PRLM).- Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB) kembali melaksanakan Diskusi Panel Serial dengan tema “Sejarah Peradaban dan Pancasila”. Dalam diskusi serial kali ini, hadir sebagai pembicara adalah Prof. Dr. FX. Muji Sutrisno, SJ dan Prof. M Mas’ud Said, PhD. Diskusi dipimpin Ketua Pengurus YSNB Iman Sunario, Pembina YSNB Pontjo Sutowo dan dipandu oleh Herawati M.Si digelar di Merak Room,Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta Pusat, Sabtu (3/10/2015). Pontjo Sutowo mengatakan, dalam amandemen pasal 32 UUD 1945 disebutkan “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah kebudayaan dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”. Sayangnya dalam kenyataannya, belum terdapat kebijakan pemerintahan yang jelas dan konsisten dalam menindaklanjuti kaidah konstitusional dalam bidang kebudayaan ini. "Rakyat Indonesia yang majemuk pada saat ini, harus berjuang keras untuk memperoleh dan membela hak-haknya, bukan hanya hak sosial dan hak politik, tetapi juga hak ekonomi khususnya hak atas tanah ulayatnya serta hak budaya. Seperti, adanya kecenderungan komersialisasi kebudayaan melalui media massa, yang secara langsung atau tidak langsung telah merusak moral dan fisik generasi muda kita," ujar Pontjo. "Kebijakan pemerintah yang terukur dalam membendung komersialisasi kebudayaan, juga belum ada. Padahal fungsi nilai-nilai budaya yang diangkat dalam amandemen pasal 32 UUD 1945 mengacu pada nilai budaya luhur yang jauh dari nilai yang merusak moral bangsa. Dimana fungsi nilai budaya yang diharapkan adalah sebagai kerangka pemecahan konflik dan mendorong motivasi hidup," tegasnya. Menurut Prof. Dr. FX. Muji Sutrisno, komersialisasi kebudayaan pada saat ini yang mengarah pada perusakan moral bangsa, merupakan musuh proses humanisasi kebudayaan. Salah satu cara untuk mengurangi komersialisasi kebudayaan adalah dengan cara menghilangkan lupa sejarah. “Dengan dipahaminya sejarah kembali, mengakibatkan kita akan dapat menghargai dan menghormati sesama anak negeri kalau mereka memberi arti dan makna yang mensejahterakan bagi sesama,” katanya. "Kebudayaan, ketika dibaca oleh manusia atau kita sebagai pelaku pemberi makna (baca: the signifying actor), ‘harus’ disadari melalui 4 tahap membacanya agar paham artinya. Tahap pertama, kita baca dari sumber dan oasenya. Tahap ini mengajak mata baca kita dengan kesadaran dari bahasa logis ke tulis serta semiotis (tanda). Tahap pertama ini kebudayaan diungkap dalam kamus yang menuliskannya dan mewacanakan realitas dunia dimana manusia hidup dan merajutnya," ucapnya. Sementara itu Prof. M Mas’ud Said, PhD mengatakan jika spiritualitas dan religiusitas seharusnya merupakan sistem nilai yang menjadi dasar pengembangan nilai-nilai budaya bangsa. Sebagai contoh, pembangunan ekonomi yang dibangun atas zonder spiritualisme, dunia gagal untuk memberi bukti untuk mensejahterakan secara batiniah warga dunia, karena adanya ketimpangan kaya miskin dan ketidakseimbangan timur dan barat. “Karena itu, tanpa spiritualitas dan religiusitas, nilai-nilai budaya bangsa akan berjalan mengarah pada pembangunan ekonomi yang dibangun atas zonder spiritualisme,” kata Mas’ud Said.(Munady/A-147)***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat