kievskiy.org

Perlu Undang-Undang yang Mengatur Hubungan Antar-Etnik

YAYASAN Suluh Nuswantara Bakti (YSNB) kembali melaksanakan Diskusi Panel Serial ke-6 dengan tema “Dinamika Proses Keindonesiaan”.*
YAYASAN Suluh Nuswantara Bakti (YSNB) kembali melaksanakan Diskusi Panel Serial ke-6 dengan tema “Dinamika Proses Keindonesiaan”.*

JAKARTA, (PRLM).- Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB) kembali melaksanakan Diskusi Panel Serial ke-6 dengan tema “Dinamika Proses Keindonesiaan”. Dalam diskusi serial kali ini, hadir sebagai pembicara adalah Prof. Dr. La Ode Kamaludin dan Ir. Michael Tedja, MT dengan membahas sub tema Etnisitas dan Akulturasi Peranakan. Dalam Sensus Nasional tahun 2000 di Indonesia, tercatat ada 1.072 buah etnik besar dan kecil. Pada tahun 2010 jumlah etnik ini meningkat karena adanya pemekaran jumlah etnik karena warganya sudah menjadi sangat besar. Di sensus etnik tersebut, keturunan Tionghoa sudah dicatat sebagai salah satu etnik tersendiri. Pada saat ini, membahas masalah etnik merupakan masalah yang sangat penting. Pengalaman sejarah menunjukkan etnik yang tidak dimaintenance dengan baik, dapat digunakan sebagai senjata asing dalam mengembangkan strategi divide et impera yang terkenal ampuh memecah belah suku bangsa yang hidup di Indonesia. Sayangnya hingga saat ini Indonesia belum memiliki undang-undang yang secara khusus mengatur masalah ini. Bahkan dalam dasawarsa tahun 1970-1980, membahas masalah etnik dianggap memiliki risiko keamanan yang harus diwaspadai. Ini tentu akan dapat menjadi masalah ke depan. Selain ia dapat digunakan lagi, sebagai senjata negara lain seperti masa lalu, juga menimbulkan gesekan besar antar etnik. Sebab kini telah muncul ketidakpuasan antar etnik di Indonesia dari adanya kesenjangan sosial ekonomi yang mencolok antar etnik pribumi dan etnik non pribumi. Dimana etnik pribumi merupakan lapisan yang miskin dan etnik non pribumi merupakan lapisan yang kaya. Menurut Pembina YSNB Pontjo Sutowo, sebagaimana yang disampaikan oleh Ahmad Zacky Siradj, kondisi ini tentu harus dikoreksi secara mendasar. “Perlu adanya kebijakan yang mampu membangun dan memelihara hubungan antar etnik yang harmonis. Perlu juga ada kebijakan yang mengakui heterogenitas suku bangsa, sehingga tidak muncul adanya masalah etnik mayoritas dan etnik minoritas”, kata Pontjo Sutowo.di Merak Room,Jakarta Convention Center,Senayan,Jakarta Pusat.Sabtu 9/1/2016. Sementara itu menurut La Ode Kamaludin, Bhinneka Tunggal Ika merupakan formula yang telah sangat tepat untuk menyatukan etnisitas Indonesia. Bersatunya hubungan antar etnis di Indonesia ke depan harus memiliki indikator adanya keadilan, toleransi dan gotong royong antar etnis. Selain itu, pernikahan antar etnis ternyata juga mampu mendekatkan hubungan antar etnis secara harmonis sehingga perlu digalakkan. “Presiden Soekarno memberi contoh pernikahan antar etnik pada masa lalu. Kini pernikahan antar etnik di Indonesia telah mencapai sekitar 30 % masyarakat Indonesia,” kata La Ode Kamaludin. Di tempat yang sama, Michael Tedja menyatakan jika terciptanya akulturasi antar etnik yaitu kelompok mayoritas dan minoritas baru dapat terjadi jika ada semangat menghargai adanya perbedaan sebagaimana para pemuda Indonesia yang mencanangkan Sumpah Pemuda. Perlu juga adanya semangat dari kaum peranakan, maupun suku yang tinggal ditempat yang bukan tempat asal sukunya berada, memegang prinsip “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”. “Artinya setiap orang perlu menghargai apapun kondisi lingkungan sekitarnya, baik itu kondisi alam, kondisi sosial masyarakatnya, maupun adat istiadat dan budaya setempat,” kata Michael Tedja.(Munady/A-147)***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat