kievskiy.org

Pakar Hukum: Kebiri Bisa Tekan Angka Kekerasan Seksual

YOGYAKARTA, (PR).- Hukuman tambahan berupa kebiri kepada pelaku kekerasan seksual, terbukti dapat menekan angka pengulangan kejahatan seksual, terutama kepada anak. Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Ari Wibowo MH mengatakan, hal tersebut terjadi di California, Amerika Serikat. Jenis hukuman kebiri yang diterapkan untuk seorang residivis atau orang yang sudah melakukan delik pengulangan di sana dan itulah yang akan diterapkan di Indonesia. Namun tak hanya itu yang menjadi pertimbangannya. Bagi yang bukan residivis, bisa dikenakan hukuman kebiri bila melihat dampaknya yang besar terhadap korban. "Di beberapa negara ada dua model. Ada yang menjadikan kebiri sebagai punishment atau hukuman, tapi ada juga kebiri sebagai treatment atau perawatan. Konsekuensinya, ketika menjadikan kebiri sebagai treatment, maka tidak termasuk bagian untuk memberikan efek jera, tapi bertujuan pemulihan atau rehabilitasi bagi pelaku," ucapnya, Rabu, 1 Juni 2016. Meskipun demikian, kata dia, karena syaratnya rumit, Indonesia cenderung menjadikan kebiri sebagai punishment. Walaupun difungsikan sebagai hukuman tambahan, kebiri yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, tidak hanya semata-mata untuk memberikan efek jera, namun juga ada upaya rehabilitasi kepada pelaku paedofil. "Jadi kebiri ini dilakukan bersama rehabilitasi. Bentuk rehabilitasinya seperti apa, itu belum diatur dalam peraturan pelaksanaannya. Itu yang nantinya akan melibatkan ahli medis, psikolog, dan sebagainya untuk tindak lanjutnya," katanya. Ari menuturkan, dalam pengaturan Perppu Perlindungan Anak, pidana kebiri tidak wajib diterapkan. Hakim memiliki kebebasan untuk menerapkannya atau tidak."Sifatnya pilihan. Kalau hakim menimbang bahwa hukuman tambahan itu perlu, maka akan diterapkan," ungkapnya. Selain hukuman kebiri, kata dia, poin lain yang tercantum dalam Perppu tersebut adalah adanya hukuman mati yang dijatuhkan kepada pelaku. Pidana mati merupakan aplikasi dari teori pemidanaan yang paling klasik. Perbuatan pelaku yang dinilai membahayakan publik, akan adil bila mendapatkan hukuman yang setimpal. "Kalau diprediksi pelaku sulit diperbaiki, maka akan dijatuhi hukuman mati. Di sini jangan hanya dilihat dalam kacamata offender protection oriented, tapi juga victim protection oriented," tuturnya. Sementara itu, Ketua Pelaksana Bidang Pusat Pelayanan Terpadu Pembedayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) DIY Rekso Dyah Utami (RDU), Tuti Purwani mengatakan, hukuman kebiri dirasanya tidak bisa memberikan efek jera kepada pelaku. Menurutnya, sanksi sosial bahkan edukasi kepada pelaku yang bisa membuat mereka tidak mengulangi lagi tindakannya tersebut. "Anak-anak sekarang ini justru harus kita rangkul. Pelaku-pelaku (kekerasan seksual) harus kita rangkul agar mereka tidak berbuat seperti itu lagi. Kebiri tidak ada efek jera. Saya lebih setuju kalau sanksi yang diberikan adalah sanksi sosial," ucapnya. Tuti mengatakan, harus ada penelitian yang bisa mengungkap motif pelaku kejahatan seksual pada anak. Sehingga hukuman ataupun tindakan yang diambil pemerintah untuk menekan angka kejahatan seksual terhadap anak, dari sudut penanganan pada pelaku, bisa lebih sesuai. "Apa yang membuat mereka menjadi seperti ini? Apakah kelebihan gizi sehingga libidonya tinggi ataukah ketahanan keluarga. Itu berlaku bagi pelaku yang sudah dewasa, maupun pelaku yang masih di bawah umur," ujarnya. Hingga akhir Mei 2016, sudah tercatat aduan yang masuk terkait kekerasan terhadap anak dan perempuan yang masuk ke RDU mencapai 60 kasus. "Tahun lalu aduan memang di atas 100 kasus. Tapi ini kan masih Mei, tapi jumlahnya sudah 60 kasus. Ini sangat memprihatinkan. terlebih banyak juga pelaku yang dilaporkan adalah bapak tiri, bahkan bapak kandung sendiri," katanya.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat