kievskiy.org

Tidak Solutif, Pembatasan Waktu Perekaman Data Kependudukan Perlu Ditinjau Ulang

BANDUNG, (PR).- Tenggat waktu perekaman data kependudukan dinilai tidak menyelesaikan persoalan e-KTP. Pemerintah diminta mengkaji ulang soal batas waktu perekaman data penduduk. Peneliti Senior Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Dr. Sukamdi, M.Sc. mengatakan, tenggat waktu yang ditetapkan pemerintah memang bertujuan untuk mendorong inisiatif warga, namun masalah perekaman data e-KTP tidaklah sederhana. Bukan semata-mata masalah inisiatif, beragam persoalan lain masih kerap dijumpai, misalnya alat rekam e-KTP yang rusak, minimnya ketersediaan blangko, hingga kualitas layanan yang diberikan petugas pencatatan administrasi kependudukan. Langkah pemerintah dengan memberikan kemudahan prosedur perekaman e-KTP memang perlu diapresiasi. Cukup dengan membawa fotokopi kartu keluarga (KK) tanpa menyertakan surat pengantar dari RT, RW, kelurahan atau desa, warga bisa langsung merekam data kependudukannya. “Tetapi, aturan dari pusat ini belum tentu diterapkan dengan baik di masing-masing kabupaten/kota. Masih ada yang mengeluhkan soal prosedur layanan. Oleh karena itu, adakah jaminan layanan prima dari pemerintah bagi warga yang datang merekam?” kata Sukamdi. Terbitnya surat edaran mendagri juga dinilai bukan kebijakan yang solutif bagi penataan basis data kependudukan. Surat edaran tersebut bahkan cenderung membingungkan. Di satu sisi ada tenggat waktu dan pernyataan pemerintah bahwa tidak akan ada sanksi atau punishment. Namun, di sisi lain warga yang belum memiliki e-KTP akan sulit mengakses layanan publik lainnya yang berbasis nomor induk kependudukan (NIK). Ini tak lain adalah bentuk sanksi. Bagi Sukamdi, konsekuensi tersebut tidak bisa dibenarkan meski data bisa diaktifkan kembali dengan mengurusnya di dinas kependudukan setempat. Mengapa? Persoalan bukan hanya kurangnya inisiatif warga. Sebagian warga menghadapi persoalan akses karena berada di wilayah yang secara geografis sulit dijangkau seperti di perbatasan maupun pelosok atau pedalaman. Mereka bahkan harus mengeluarkan ongkos transportasi yang tidak sedikit, meski biaya pendaftaran e-KTP gratis. “Harus diakui, proses merekam data hingga menjadikannya e-KTP masih bermasalah. Ini adalah PR pemerintah sehingga konsekuensi yang harus ditanggung warga akibat tenggat waktu tadi cenderung melanggar. Hak konstitusionalnya dihilangkan,” katanya lagi. Untuk itu Kemendagri perlu mengkaji kembali kebijakan yang dikeluarkannya. Jika mekanisme tenggat waktu masih hendak diterapkan, maka jangan sampai bentuk disinsentif atau konsekuensi yang diterima warga menghilangkan hak. Bentuk disinsentif bisa ditekankan misalnya, pada prosedur yang lebih banyak atau panjang apabila belum mendaftar hingga tenggat waktu. Surat edaran mendagri pun akan lebih baik apabila fokus pada upaya-upaya untuk memperbesar kemampuan pemerintah di dalam memberikan layanan adminduk. Misalnya, kelonggaran pendanaan atau budgeting oleh pemda, gerakan “jemput bola”, memperluas penggunaan alat baca e-KTP atau card reader, dan sebagainya. “Ini yang sering luput dari perhatian. Penggunaan e-KTP tidak bisa maksimal apabila card reader belum tersedia. Pemerintah sudah harus menentukan pihak atau unit layanan apa saja yang bisa menggunakan card reader. Bagaimanapun, pemerintah harus bertanggung jawab untuk melindungi kerahasiaan data penduduknya,” tambah Sukamdi. Pemerintah melalui Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 471/1768/SJ mendorong percepatan penerbitan KTP elektronik atau e-KTP serta akta kelahiran. Khusus e-KTP, cakupan perekamannya baru mencapai 86 persen. Kementerian Dalam Negeri menyebutkan, masih ada sekitar 22 juta warga yang belum terekam data kependudukannya. pemerintah kemudian memberlakukan tenggar waktu perekaman data kependudukan guna memperoleh e-KTP dibatasi hingga 30 September. Lewat dari tenggat waktu, data penduduk yang belum merekam akan nonaktif. Selain itu, surat edaran juga mengatur tentang penyederhanaan prosedur perekaman e-KTP dan seruan bagi pemerintah daerah untuk “jemput bola” melalui pelayanan keliling ke wilayah-wilayah yang sulit dijangkau.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat