kievskiy.org

Pemilu Serentak Menyimpan Potensi Masalah Besar

Ketua Pansus RUU Pemilu M. Lukman Edy (kiri) dan Pakar hukum tata negara Margarito Kamis dalam dialog kenegaraan ‘Menyongsong Pilkada Serentak 2019’ di Gedung MPR RI Jakarta, Rabu, 5 April 2017.*
Ketua Pansus RUU Pemilu M. Lukman Edy (kiri) dan Pakar hukum tata negara Margarito Kamis dalam dialog kenegaraan ‘Menyongsong Pilkada Serentak 2019’ di Gedung MPR RI Jakarta, Rabu, 5 April 2017.*

JAKARTA, (PR).- Ketua Pansus RUU Pemilu M. Lukman Edy menegaskan, RUU Pemilu yang sedang dibahas di Pansus diharap selesai pada 28 April 2017 mendatang. Namun, yang menjadi persoalan bukan masalah presidential threshold (PT) 20 % hingga 25 %. Juga bukan parliamentary threshold 3,5 % hingga 5 %, melainkan kegamangan dalam melihat perilaku pemilih, yang masih tergoda dengan politik uang ataumoney politics. Sehingga secara kualitas, Pemilu Serentak sangat mengkhawatirkan. Juga mengenai rekapitulasi penghitungan suara pemilu serentak 2019. “Bayangkan saja, rekapitulasi penghitungan suara dalam pemilu biasa saja selesai pada pukul 04.00 Wib atau 06.00 Wib dini hari, makanya KPU harus mempunyai inisiatif penghitungan cepat tersebut. Masalahnya, KPU tiba-tiba menolak e-voting, karena khawatir ada pembajakan dan masyarakat belum siap. Padahal, untuk mempersingkat semua proses itu dengan e-voting,” demikian kata politisi PKB itu dalam dialog kenegaraan ‘Menyongsong Pilkada Serentak 2019’ bersama pakar hukum tata negara Margarito Kamis di Gedung MPR RI Jakarta, Rabu, 5 April 2017. Lukman mencontohkan, perhitungan suara di Jerman saja hanya membutuhkan waktu hanya selama 2 jam. Namun di Indonesia, dia menilai, tampaknya masih suka dengan sorak-sorai dengan penghitungan manual. Karena itu Pansus DPR sepakat mengusulkan pemotongan proses penghitungan di tingkat desa dan kecamatan. Sehingga dari TPS langsung ke Kabupaten/Kota. “Kita dorong KPU pake e-rekapitulasi dengan memotret, dan langsung dikirim ke KPU Kabupaten/Kota, agar jam 12.00 Wib sudah selesai,” ujarnya. Selanjutnya, soal jadwal Pilkada pada 10 April 2019. Dan, karena serentak maka anggota KPU menjadi 9 orang dari sebelumnya 7 orang. Demikian juga anggota Bawaslu. Hanya saja Bawaslu kewenangannya ditambah bisa membatalkan peraturan KPU (PKPU) yang bertentangan dengan UU. Untuk menghemat anggaran kata Lukman, maka KPU/Bawaslu di tingkat kabupaten/kota bersifat adhoc, tidak permanen, yang jumlah anggotanya bervariasi. Kalau jumlah penduduknya padat, maka sebanyak 7 orang dan sebaliknya cukup 5 orang. “Kuncinya, ya penegakan hukum,” tambahnya. Selain itu melihat banyak persoalan dalam Pilkada 2017 ini, DPR RI akan mengajukan angket untuk KPU akibat banyaknya temuan di Papua, Jayapura, Yapen dan daerah lain yang disikapi berbeda-beda oleh KPU. “Berbeda antara kuasa hukum satu dengan kuasa hukum yang lain. PKPI misalnya di Sumatera Utara, boleh ikut Pilkada meski ditandantangani oleh Sekjen PKPI yang sudah dipecat,” jelas Lukman. Sementara itu mengenai penguatan presidensial, Lukman Edy mengingatkan kita tak perlu khawatir karena sudah dijamin oleh UUD NRI 1945. Itu sudah clear. Ada proses impeachment, pemakzulan namun prosesnya cukup berat, presiden tidak bisa membubarkan parlemen. “Jadi, kalau penguatan itu diatur oleh UU, ini langkah mundur untuk demokrasi terpimpin menuju fasisme baru. Konstitusi kita sudah kuat untuk presidensial ini," ujarnya.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat