kievskiy.org

Angkat Penjabat Gubernur Jabar, Presiden Harus Jaga Semangat Reformasi

JAKARTA, (PR).- Presiden Jokowi diminta dapat menjaga semangat reformasi dengan menolak usulan Menteri Dalam Negeri untuk mengangkat pejabat Gubernur Jawa Barat dan Sumatera Utara. Policy Centre Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Polcen Iluni UI), menilai, keputusan Kemendagri yang akan mengangkat perwira tinggi polisi aktif untuk menjadi pejabat gubernur tidak tepat.

"Kami meminta Presiden Jokowi menolak usulan Mendagri yang menempatkan pejabat Polri aktif sebagai penjabat sementara gubernur atau jabatan sipil lainnya. Sekaligus juga meminta presiden tetap menjaga semangat reformasi sebagaimana amanat reformasi 1998 yaitu menolak dwifungsi ABRI termasuk dwifungsi Polri," ujar Ketua Umum Iluni UI, Arief Budhy Hardono, dalam siaran pers di Jakarta, Sabtu 3 Februari 2018.

Hal itu terungkap dalam Diskusi Bulanan Polcen UI bertema "Dwifungsi Polri Menjelang Pilkada Serentak" di Sekretariat Iluni UI Kampus UI Salemba Jakarta. Acara tersebut menghadirkan Ketua Pusat Studi Hukum Tata Negara (PSHTN) Mustafa Fahri, anggota Komisi III DPR RI Muhammad Syafii, Pengurus Perludem Titi Anggraini, aktivis reformasi 1998 Ramdansyah, Dosen FISIP Universitas Sam Ratulangi Dr Ferry Liando, serta Ketua Iluni UI Eman Sulaeman Nasim dan Tommy Suryatama. 

Mustafa Fahri mengatakan, jika pemerintah mengangkat pejabat sementara gubernur dari polisi aktif, maka hal tersebut bertentangan dengan Pasal 201 ayat 10 Undang-undang (UU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), Pasal 28 UU Kepolisian Negara, dan Pasal 20 UU Apartur Sipil Negara (ASN). Pasal 201 ayat 1 UU Pilkada yang dirujuk Kemendagri dengan mengeluarkan Permendagri No 1 tahun 2018 harus merujuk pada Pasal 20 UU ASN yang menyebutkan secara tegas bahwa pengisian jabatan itu hanya dapat diperuntukkan bagi tingkat pusat dan bukan daerah.

"Secara teoretis, Polri adalah lembaga superbody karena tidak saja dalam lingkungan eksekutif dalam rangka keamanan dalam negeri, tapi juga sebagai bagian dalam yudikatif yakni penegakan hukum, dimana Polri dapat menetapkan seseorang sebagai tersangka. Untuk itu, akan sangat berbahaya jika jabatan sipil juga dipegang oleh pejabat Polri yang masih aktif," papar Mustafa Fahri.

Dosen FHUI ini menambahkan, amanat ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR RI) VIII Tahun 2000 terlait pemisahan TNI-Polri dalam ayat 3 disebutkan, jabatan sipil jika akan ditempati pejabat TNI Polri, maka terlebih dahulu harus berhenti atau mundur. Jika di berbagai negara, bahkan tidak dapat langsung menempati jabatan sipil, akan tetapi ada jeda waktu selama 2 tahun, agar jabatannya tidak digunakan untuk mempengaruhi bekas bawahannya.

Harus mundur dulu

Anggota DPR RI Komisi III Muhammad Syafii menyebutkan, UU kepolisian negara secara tegas menyebutkan, kepolisian negara tidak boleh melibatkan diri dalam politik praktis. Dalam hal pejabat kepolisian mengisi jabatan di luar dinas kepolisian, maka harus terlebih dahulu mundur atau berhenti dari kedinasan kepolisian.

"Hal ini semakin menunjukkan bahwa policy yang akan diambil oleh Kemendagri adalah suatu kebijakan yang tidak lagi berorientasi pada state oriented akan tetapi government oriented. Menarik polisi negara untuk masuk dalam tindakan government oriented adalah hal yang membahayakan bagi Polri karena akan menimbulkan distrust akan peran Polri yang netral dalam pilkada," kata Syafii.

Pendapat senada disampaikan dosen ilmu poltik Universitas Sam Ratulangi, Ferry Liando. Menurut Fery, perwira aktif Polri bila ditunjuk menjadi penjabat gubernur atau kepala daerah di wilayah yang salah satu calon kepala daerahnya berasal dari korps kepolisian, sulit untuk menjamin, penjabat Gubernur asal Perwira tinggi Polri tersebut akan bersikap netral. 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat