kievskiy.org

Politik Perempuan, Saat “Politik Balik ka Indung”

KARIM Suryadi/DOK. PR
KARIM Suryadi/DOK. PR

BANDUNG, (PR).- Jika kita taat pada makna politik adalah urusan mengatur orang, maka ketika urusan politik dipegang perempuan itu artinya politik pulang ke “indung” (Sunda: ibu). Kemudian, karena hakikat politik dan kodrat perempuan sama, yakni mengatur, maka keterlibatan perempuan dalam urusan politik menumbuhkan harapan. 

“Namun, persoalannya apakah perempuan siap berkompetisi dengan laki-laki untuk berebut jabatan publik melalui pemilihan umum (pemilu),” demikian disampaikan Guru Besar Komunikasi Politik dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Karim Suryadi pada Pelatihan Strategi Perjuangan Perempuan Politik Menghadapi Pemilu 2019 di Bandung, Rabu 6 Maret 2019. Kegiatan diselenggarakan oleh Koalisi Perempuan Politik Indonesia.

Menurut Karim Suryadi, tantangan yang dihadapi perempuan lebih bersifat kultural ketimbang primordial. Oleh karena itu, keberadaan berbagai forum yang dirancang untuk mengikis stigma politik sebagai urusan laki-laki, atau berbagai handicap budaya yang menghalangi keterlibatan perempuan dalam politik, amat penting karena dua alasan.

“Kesatu, sukses dalam urusan politik (seperti juga dalam bidang lain) adalah unisex. Siapa saja bisa sukses, dan gagal dalam kontestasi. Alih-alih bersandar gender atau jenis kelamin, penentu keberhasilan kontestasi adalah kesungguhan, totalitas, ketangguhan, dan kekayaan deposit politik yang dibawa kandidat ke dalam kancah kontestasi,” ucap Karim.

Kedua, kata narasumber gelar wicara politik di berbagai stasiun televisi nasional itu,  kecakapan politik adalah learned behavior. Pembelajaran politik mutlak diperlukan karena tidak ada kecakapan dan atribut politik yang dibawa sejak lahir.

“Ketiga, kandidat tidak bisa melawan realitas, yang perlu dilakukan hanyalah mengubah strategi dan sudut pandang. Untuk kedua hal inilah berbagai forum diperlukan agar peserta dapat belajar tentang berbagai praktik terbaik dalam memenangkan kontestasi,” ujarnya.

 Seperti halnya kesuksesan yang tidak dikaveling berdasarkan jenis kelamin, kegagalan pun tidak dijatah untuk laki-laki atau perempuan. Jika saja banyak calon legislatif yang tidak lolos ke gedung parlemen persoalannyan bukan karena yang bersangkutan perempuan. “Mortalitas caleg lebih disebabkan karena kemunculan kandidat yang tiba-tiba, pilihan strategi yang kurang jitu, atau karena kontak yang minimal dengan calon pemilih,” kata Karim Suryadi menegaskan.

Lebih jauh ia menyatakan, tidak ada jalan pintas menuju parlemen. Siapa pun yang berminat menjadi legislator harus segera memulai menangani urusan publik dan memperbanyak kontak dengan stakeholders. Dua hal ini secara simultan akan menjadi deposit (modal) politik yang penting. Pihak-pihak yang sudah menjalin kontak dengan kandidat dalam menangani urusan publik akan menjadi captive market ketika yang bersangkutan maju dalam kondidasi. Itu artinya, mentransformasi pengalaman menangani urusan publik ke dalam kandidasi akan lebih menolong ketimbang mendasarkan pada cara-cara dan jalan pintas (shortcut).***

 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat