kievskiy.org

Dianggap Abai terhadap isu Revisi UU KPK, Jokowi Mendapat Citra Negatif

PAKAR Hukum Pidana Unpar Agustinus Pohan (kiri), Pakar Hukum Tatanegara Unpar Asep Warlan (tengah), dan Kriminolog Unpad Yesmil Anwar menyampaikan pemaparannya saat acara diskusi publikdi di Aula Pikiran Rakyat, Jalan Asia Afrika, Kota Bandung, Rabu, 18 September 2019. Acara yang dihadiri berbagai kalangan tersebut membahas mengenai pengesahan Revisi UU KPK.*/ARMIN ABDUL JABBAR/PR
PAKAR Hukum Pidana Unpar Agustinus Pohan (kiri), Pakar Hukum Tatanegara Unpar Asep Warlan (tengah), dan Kriminolog Unpad Yesmil Anwar menyampaikan pemaparannya saat acara diskusi publikdi di Aula Pikiran Rakyat, Jalan Asia Afrika, Kota Bandung, Rabu, 18 September 2019. Acara yang dihadiri berbagai kalangan tersebut membahas mengenai pengesahan Revisi UU KPK.*/ARMIN ABDUL JABBAR/PR

BANDUNG, (PR).- Presiden Joko Widodo dan DPR RI terkesan abai terhadap masukan publik terkait revisi Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah disahkan. Presiden Jokowi pun dinilai bakal mendapat citra negatif di akhir kepemimpinan periode pertamanya.

Menurut pakar hukum tata negara dari Universitas Parahyangan (Unpar) Asep Warlan Yusuf, pengesahan revisi UU KPK tidak hanya menimbulkan perdebatan dalam hal substansinya. Proses revisi UU KPK hingga disahkan oleh DPR juga berjalan relatif singkat, sehingga terkesan tak sesuai dengan ketentuan. 

Asep menjelaskan, di dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa pembentukan UU mensyaratkan uji publik atau masukan publik. Artinya, kata dia, pembentukan UU menggunakan mekanisme demokrasi. Akan tetapi, proses tersebut tidak dilewati. 

"Prosesnya kan relatif cepat. Dalam waktu yang sangat singkat, itu tidak membuka celah untuk public input, public comment. Tidak ada celah untuk memberikan masukan atau saran," kata Asep, di sela diskusi hukum terkait revisi UU KPK yang diselenggarakan Fordiskum di Aula "PR", Jalan Asia Afrika, Kota Bandung, Rabu, 18 September 2019.

Padahal, menurut dia, Jokowi telah menjanjikan tiga hal. Pertama, kata dia, membuka wacana revisi UU KPK di publik. Kedua, mengundang KPK untuk membahas revisi UU KPK. Ketiga, mengundang pakar hukum. Namun, ketiga hal tersebut tidak dilakukan oleh Jokowi. 

"Ya mohon maaf dengan segala hormat, legacy-nya berujung pada kekecewaan. Padahal, kami inginkan ujung dari periode pertama itu (Jokowi) berhasil membuat UU, yang menurut hemat saya, sesuai dengan aspirasi publik," katanya. 

Setelah UU KPK disahkan, Asep menyatakan, masih ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk mengubah UU KPK yang sudah disahkan. Selain melalui judicial review ke Mahkamah Konstitusi, UU KPK bisa diuji kembali dengan cara executive review dan legislative review.  

"Ada executive review. Itu adalah sebuah proses di mana pemerintah membentuk tim untuk melakukan kajian ini, karena mungkin ada kelemahan, kekurangan, kesalahan, tidak efektif, dan sebagainya. Biasanya executive review dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM," katanya. 

Adapun legislative review, terang dia, yaitu DPR yang membentuk tim pengkajian evaluasi terhadap UU tersebut. Legislative review itu dianggap masih mungkin dilakukan oleh DPR periode yang baru, karena DPR yang mengesahkan UU KPK akan segera berakhir masa jabatannya. 

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat