kievskiy.org

Hari Perempuan Internasional Diharapkan Jadi Momentum untuk Kampanyekan Pemilihan Inklusif Gender

Aktris Hannah Al Rashid saat melakukan aksi untuk Hari Perempuan Internasional di Jakarta, Minggu 8 Maret 2020.*
Aktris Hannah Al Rashid saat melakukan aksi untuk Hari Perempuan Internasional di Jakarta, Minggu 8 Maret 2020.* /INSTAGRAM @HANNAHALRASHID via ANTARA

PIKIRAN RAKYAT - Jumlah perempuan yang menggunakan hak pilih (female voter turnout) di pemilu selalu lebih banyak daripada pemilih lelaki. Namun, perempuan sangat rentan akan politik klientelisme maupun politik uang. Menghadapi Pilkada Serentak 2020, diperlukan langkah strategis guna mengantisipasi atau membebaskan perempuan dari situasi politik yang problematik tersebut. 

Anggota Komisi Pemilihan Umun (KPU) Provinsi Jawa Barat Idham Holik mengatakan, Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap 8 Maret diharapkan menjadi momentum untuk mengampanyekan pemilihan inklusif gender. Apalagi, Hari Perempuan Internasional mengangkat tema #EachforEqual (Masing-masing untuk Setara). 

"Tema tersebut dilandasi pemikiran an equal world is an enabled world (dunia yang setara adalah dunia yang memungkinkan). Dengan tema tersebut, masyarakat dunia dipersuasi untuk meningkatkan kesadaran menentang bias dan mengambil tindakan untuk kesetaraan. Oleh karena itu, mari jadikan Indonesia Women's Day sebagai peristiwa penting untuk lebih setara," kata Idham, Minggu 8 Maret 2020.

Baca Juga: Jual Beli Bayi Marak di Filipina, Ada yang Pasang Harga Hanya Rp 2,8 Juta Saja

Menurut dia, di setiap pemilu/pilkada female voter turnout selalu lebih banyak. Di Pilpres 2019, dia menyontohkan, persentase pemilih perempuan pengguna hak pilih ialah sebesar 80,67 persen, sedangkan pemilih lelaki pengguna hak pilih sebesar 77,34 persen. Dari total pengguna hak pilih, presentase pemilih perempuan ialah sebanyak 51,17 persen. 

Kendati demikian, Idham menyatakan, pemilih perempuan cenderung tidak memiliki kebebasan dalam keputusan elektoralnya, karena dipengaruhi oleh faktor eksternal dirinya. Pemilih perempuan dalam tekanan sosial atau lingkungan seperti kepala keluarga, pemimpin di tempat kerja, tokoh masyarakat berpengaruh, kelompok pertemanan, dan lain sebagainya.

"Dalam budaya politik patriarki, kepala keluarga (suami atau orang tua lelaki) sering kali memiliki hak veto atas pilihan elektoral istri atau anak perempuannya serta anggota keluarga lainnya. Hal yang sama juga terjadi dalam birokasi atau manajemen patrimonial, pemilih perempuan sering berada dalam kondisi sulit menolak arahan elektoral dari pemimpin di tempat kerjanya," tuturnya.

Baca Juga: Nilai Pasar Retail Rp 7,5 Juta Triliun, 92 Persen Transaksi di Warung Kelontong, Teten: Usaha Ini Berperan Vital dalam Kemajuan Ekonomi Nasional

Selain itu, kaum perempuan juga menjadi sasaran politik uang, seperti halnya pada Pemilu 2019, sebagaimana disampaikan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI. Idham menilai, untuk memerdekakan perempuan dalam menentukan pilihan elektoralnya dengan basis rasionalitas dan program pemberdayaan, maka diperlukan gerakan voluntirisme elektoral (the electoral volunteerism movement).

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat