kievskiy.org

4 Alasan Pilpres 2024 Ancam Demokrasi, Dinasti Politik Salah Satunya

Ilustrasi Pemilu 2024, dinasti politik, dan demokrasi.
Ilustrasi Pemilu 2024, dinasti politik, dan demokrasi. /Pixabay/Clker-Free-Vector-Images Pixabay/Clker-Free-Vector-Images

PIKIRAN RAKYAT – Berikut 4 alasan Pilpres 2024 atau Pemilihan Presiden tahun depan mengancam demokrasi di Indonesia. Hal ini sebagaimana diutarakan peneliti Universitas Mulawarman, Dadang I K Mujiono.

Menurut Dadang, ia menyoroti salah satu alasan Pilpres 2024 mengancam demokrasi adalah ada isu dinasti politik. Ia bahkan mengungkap dasar risetnya tersebut dengan menyinggung pernyataan Profesor Edward Aspinall dari Edward Aspinall dari Departemen Politik dan Perubahan Sosial, Australia National University dalam artikelnya yang diterbitkan pada 2010.

"Dalam penelitiannya, Aspinall meramalkan bahwa setelah rezim Suharto jatuh tahun 1998, Indonesia akan kesulitan dalam mewujudkan demokrasi, karena dua alasan utama: (1) penempatan purnawirawan dan pejabat aktif TNI dan Polri dalam struktur eksekutif, dan (2) penempatan menteri-menteri dari partai pemenang suara terbanyak di DPR RI. Ini adalah dua prinsip yang masih terbawa dari pemerintahan Orde Baru," katanya.

4 alasan Pilpres 2024 ancam demokrasi

Baca Juga: Pemilu 2024: 3 Pihak ini Bisa Gerakkan Pemilih Kritis

Simak selengkapnya, dilansir dari laman The Conversation:

  1. Dinasti politik

    Dadang menyebut, Aspinall menyinggung munculnya dinasti politik itu di Indonesia. Beberapa kasus yang menjadi sorotan adalah eks Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dan eks Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari di daerah.

    "Dinasti politik telah menjadi masalah yang sulit dihilangkan di Indonesia. Prabowo sendiri mengakui bahwa hampir semua partai politik di Indonesia memiliki jejak dinasti politik, tetapi sayangnya, situasi ini tidak dianggap sebagai masalah serius. Padahal, dinasti politik bisa merusak prinsip meritokrasi (berlandaskan pada prestasi dan kompetensi) dan persaingan yang adil dalam politik, serta kualitas kaderisasi partai politik," ujar Dadang.

  2. Konflik kepentingan

    Baca Juga: Dinasti Politik Ancam Demokrasi, Peneliti: Pemilu Harus jadi Tonggak Penting

    Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinilai ‘memuluskan’ keponakan Ketua MK Anwar Usman, Gibran putra Jokowi, bukanlah satu-satunya keputusan yang dinilai sarat konflik kepentingan. Saat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden, Dadang menyatakan kala itu SBY memasikan Pemilihan Gubernur Kalimantan Timur 2008 dimenangi Awang Faroek Ishak (AFI).

    "Dengan penangkapan Syaukani (lawan politik AFI di Pilgub Kaltim 2008) oleh KPK, AFI berhasil melenggang menjadi Gubernur Kalimantan Timur meskipun dengan kontestasi politik yang sangat sengit," ujarnya.

  3. Tak ada kaderisasi

    Kaderisasi menjadi masalah dalam perpolitikan Indonesia, beberapa di antaranya adalah Gibran yang menjadi bakal Calon Wakil Presiden (Cawapres) pada usia 36 tahun, juga Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) putra SBY yang menjadi Ketua Umum Partai Demokrat hanya empat tahun setelah terjun ke politik.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat