kievskiy.org

Kenapa Kejahatan Makin Brutal, Lemahnya Penegakan Hukum atau Kemerosotan Moral?

Ilustrasi pembunuhan.
Ilustrasi pembunuhan. /Pixabay/Geralt Pixabay/Geralt

PIKIRAN RAKYAT - Belakangan publik dipertontonkan berbagai kejahatan dengan kekerasan yang mungkin saja tidak hanya menimbulkan trauma pada korban maupun keluarganya, tapi berdampak pada masyarakat yang menonton. Setiap hari disuguhi kejahatan kekerasan seperti pembunuhan, penganiayaan menyebabkan kematian, atau penganiayaan yang membuat cacat seumur hidup, membuat publik terbiasa melihat kebiadaban. Berbahayakah hal demikian?

Kriminolog Universitas Padjadjaran Yesmil Anwar menyebut maraknya kejahatan dengan kekerasan itu masih menimbulkan banyak perdebatan berkaitan dengan penyebabnya. “Kenapa kejahatan dengan kekerasan yang dipilih? Apa benar ada rasa frustrasi dalam masyarakat terhadap kenyataan sosial sehingga meluapkan emosinya melalui kejahatan?” ujarnya kepada kontributor Pikiran Rakyat Dewiyatini pada Selasa, 7 Mei 2024.

Yesmil menyebutkan deretan alasan adanya kejahatan kekerasan bisa disebutkan seperti masalah dekadensi moral, penghargaan terhadap kemanusiaan yang rendah, atau alasan lain. Apa pun itu, kata Yesmil, selalu ada tiga motif utama dalam kejahatan antara lain kekuasaan, uang, dan hubungan sosial. “Kasus-kasus kejahatan dengan kekerasan yang belakangan terjadi bisa saja motifnya tidak tunggal. Bisa saja tiga motif itu bisa ada dalam satu situasi,” katanya.

Ia mencontohkan kasus jasad perempuan dalam koper yang dibuang di Bekasi tidak hanya didasarkan pada satu motif. Ada motif hubungan sosial yakni percintaan sekaligus penolakan yang menimbulkan rasa sakit hati sehingga melakukan satu kejahatan berupa pembunuhan. Kemudian, ada desakan ekonomi sehingga pelaku juga mengambil uang yang ada di diri korban.

Atau untuk kasus mutilasi di Ciamis yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya memerlukan penyelidikan lebih dalam. “Apa benar karena cekcok dan utang? Atau ada alasan lain yang jadi motif yang harus benar-benar digali oleh pihak kepolisian,” ujarnya.

Persoalan mereka bersalah atau tidak, dihukum atau tidak, lanjut Yesmil, itu terletak di tangan hakim. Polisi dan jaksa yang harus mencari bukti yang memberikan keyakinan bagi hakim dalam memutus.

Yang masih membuat publik penasaran dan akan selalu penasaran, alasan mereka melakukan kejahatan dengan sadis. Yesmil mengatakan ada kaitan dengan media massa, media sosial, atau pemberi informasi lainnya yang memudahkan para pelaku kejahatan meniru melakukan perbuatan sadis atau brutal. Atau jika dikaitkan dengan religi, bisa saja mereka tidak menghayati religinya sehingga terjadi dekadensi moral yang tidak memikirkan manusia lainnya.

Yesmil mengatakan pilihan untuk menghilangkan jejak dengan cara dibuang dalam koper atau dimutilasi, sebetulnya bukan hal yang baru. Pilihan membunuh seperti itu telah terjadi sejak 1960-an. Yesmil mengingatkan kasus Aminah di Bukit Duri Jakarta yang merajang korbannya sedikit demi sedikit, kemudian dijadikan sop dan disajikan pada pelanggan di kedainya.

“Itu membuktikan gejala kebiadaban itu memang ada pada diri manusia. Mereka masih menganut cara nenek moyang yang menyelesaikan masalah dengan kekerasan seperti main bacok, panah, atau carok. Artinya masyarakat kita itu belum menjadi masyarakat rasional dan belum memahami hukum,” paparnya.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat