kievskiy.org

Ki Hajar Dewantara, Pemersatu Bangsa yang Selalu Terkenang Saat Hardiknas

SETIAP 2 Mei kita pasti akan teringat pada kiprah seorang Ki Hajar Dewantara. Dialah tokoh dan pelopor pendidikan pada masa pergerakan Indonesia melawan penjajah Belanda.

Kiprah dan aktivitas Ki Hajar Dewantara dalam mendirikan dan mengembangkan sekolah Taman Siswa mulai 1922. Kemudian menjadi titik pijak peringatan Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas setiap 2 Mei.

Dia juga terkenal dengan semboyan Tut Wuri Handayani yang teks aslinya berbunyi ”Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”. Arti dari semboyan ini adalah tut wuri handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan). Kemudian ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide). Ing ngarsa sung tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik).

Ki Hajar Dewantara Lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889.Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Dia ber­asal dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara.

Semenjak saat itu, dia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya dia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.

Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Dia menamatkan sekolah dasar di ELS (sekolah dasar Belanda). Kemudian sempat melanjutkan ke STOVIA (sekolah dokter Bumiputera), tetapi tidak sampai tamat karena sakit.

Dia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, dia tergolong penulis andal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.

Aktif berorganisasi

Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, dia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada 1908, dia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu. Terutama mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.

Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, dia mendirikan Indische Partij. Partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia itu berdiri pada 25 Desember 1912 dengan tujuan mencapai Indonesia merdeka.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat