kievskiy.org

Demokrasi Digital di Ujung Jempol

Demokrasi Digital.
Demokrasi Digital. /Dok. Kominfo

PIKIRAN RAKYAT - Ruang demokrasi di masa pandemi Covid-19 menjadi terbatas bagi adanya pertemuan masyarakat secara fisik. Tidak hanya itu, urusan ekonomi, kesehatan, pendidikan, politik, sosial, dan lainnya diatur dan dibatasi demi mencegah menyebarnya virus korona.

Sejak itu, kebutuhan masyarakat akan ruang publik berpindah ke ruang digital. Internet memampukan ruang-ruang digital untuk saling terhubung dan menghubungkan warga menjadi warganet.

Dalam pemikiran Hannah Arendt (Marjin Kiri, 2012), ruang publik adalah tempat manusia bebas bersama-sama membicarakan dan memutuskan persoalan-persoalan publik secara argumentatif. Menurut filsuf Yahudi ini, demokrasi dan politik berbasis pada kemajemukan manusia.

Masyarakat majemuk kembali bercakap-cakap melalui jejaring media sosial. Pelajar dan mahasiswa menempuh pendidikan melalui kelas-kelas daring. Pelayanan kesehatan dan keuangan bertransformasi melalui aplikasi-aplikasi berbasis Internet.

Baca Juga: Kontroversi Jalan Ataturk, Fadli Zon Adakan Polling: 95 Persen Netizen Pilih Muhammad Al Fatih

Di titik ini, demokrasi juga berpindah ke ruang digital dalam bentuk kebebasan berpendapat dan berekspresi. Namun, ekses negatif juga melintasi ruang digital bagi demokrasi dalam bentuk ujaran kebencian dan kabar bohong.

Batas antara demokrasi untuk kebebasan berpendapat dan ujaran kebencian menjadi tidak jelas. Jaringan Internet dan jejaring media sosial seakan menciptakan dunia maya yang sama sekali baru bagi setiap pihak untuk mewujudkan apa saja.

Demokrasi Digital

Demokrasi digital dipandang sebagai bentuk pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam proses politik dan pemerintahan. Dalam kondisi ideal, Internet mendorong aspirasi masyarakat tersampaikan melalui berbagai saluran komunikasi pemerintahan sehingga tercipta kebijakan dan regulasi publik.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat