kievskiy.org

Perkawinan Dijamin Konstitusi, Ironi di Kampung Adat Cireundeu Jawa Barat

Rumah-rumah warga di Kampung Cireundeu tersembunyi di lembah yang dikelilingi bukit-bukit di wilayah Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat, Minggu 1 November 2020.
Rumah-rumah warga di Kampung Cireundeu tersembunyi di lembah yang dikelilingi bukit-bukit di wilayah Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat, Minggu 1 November 2020. /Pikiran Rakyat/Bambang Arifianto

PIKIRAN RAKYAT - Perkawinan jelas-jelas dijamin dalam konstitusi negara ini. Namun, praktik diskriminasi justru dialami warga adat Cireundeu, Kota Cimahi, Jawa Barat yang ingin pernikahan adatnya diakui negara.
 
Ironi pun terjadi, sebagai destinasi wisata kearifan lokal diakui pemerintah, tetapi tidak dengan hak mendasar mereka sebagai warga negara dalam urusan pernikahan.
 
Sementara itu‎, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum Dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menegaskan, perkawinan merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi atau Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.
 
"Ada di Pasal 28 B dan dilanjutkan di UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 10. Hak asasi ini bersifat mutlak sehingga tidak ada pembatasan alam bentuk apapun, SARA, politik, dan lain-lain," kata Julius dalam pesan WhatsApp, Senin 23 November 2020.
 
Karena merupakan hak assasi warga negara, negara pun bertanggung jawab memfasilitasinya.
 
Kampung Adat Cireundeu di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat, Sabtu 14 November 2020.
Kampung Adat Cireundeu di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat, Sabtu 14 November 2020.
"Pencatatan perkawinan merupakan mekanisme administrasi yang masuk dalam ranah tanggung jawab negara dalam menjamin hak asasi warga negara yang hendak menikah. Jika kemudian mewajibkan syarat-syarat yang membatasi hak asasi ini maka jelas telah bertentangan dengan Konstitusi dan UU HAM tadi," ucapnya.
 
 
 
Apalagi, jika alasan latar belakang agama atau kepercayaan menjadi alasan penolakan pencatatan sipil.
 
"Ini jelas diskriminasi yang sangat sadis. Kenapa namanya catatan sipil? Ya karena tugasnya mencatat, bukan mensyaratkan, apalagi membatasi dan melanggar hak asasi," ucap Julius.‎
 
Negara, kata dia, tidak memberikan syarat agama atau kepercayaan dalam hak-hak asasi perkawinan.
 
"Mekanisme administrasi hanya merupakan pencatatan saja bukan pembatasan‎," tuturnya. 
 
Masih sulitnya warga Cireundeu mem‎peroleh pengakuan negara atas pernikahan adatnya menjadi beban pikiran Abah Widi selaku salah satu sesepuh hingga sekarang.
 
Warga adat Cireundeu, menurut dia, merupakan warga yang taat aturan pemerintah. Abah Widi pun berharap, pemerintah bisa mempermudah legalitas atau pencatatan sipil bagi pernikahan warga adat Cireundeu.***

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat