“INI buku lumayan langka. Banyak foto di dalamnya tidak ditemukan di buku-buku lain tentang Konferensi Asia-Afrika,” kata Deni Rachman.
Di tangan kanannya, satu buku tua dengan ukuran besar segera menarik perhatian. Judul di sampulnya tertulis besar-besar dalam tiga bahasa: Indonesia, Tiongkok, dan Inggris. Bunyinya: Souvenir Konperensi Asia-Afrika dalam Gambar.
Ratusan gambar hitam-putih memenuhi isi buku tersebut. Banyak momen penting selama gelaran Konferensi Asia-Afrika di Bandung 63 tahun lalu terabadikan. Bukan melulu kejadian-kejadian dalam sidang, tapi justru pertemuan-pertemuan informal antara para pemimpin dari negara-negara di dua benua.
Bagi Deni, terbitnya buku-buku tentang KAA menandakan betapa besar sekaligus betapa penting gelaran 63 tahun lalu di Bandung. Untuk kali pertama di dunia, negara-negara di benua Asia dan Afrika, yang ketika itu identik dengan benua-benua dunia ketiga, bersatu dan secara mandiri menggelar konferensi internasional yang menggelorakan semangat antiimperialisme.
“Buku-buku tua ini bukan hanya penting untuk merawat ingatan. Setiap buku yang terbit merupakan usaha merawat semangat KAA itu sendiri,” tuturnya.
Bertahan 9 tahun
Komunitas AARC pertama kali digagas sembilan tahun lalu di Museum Asia-Afrika. Kegiatan utama mereka adalah membaca bersama, disebut tadarus, buku-buku yang bertemakan Konferensi Asia-Afrika sekali setiap pekan.
Budaya tadarus buku itu mengambil semangat yang muncul di antara anak-anak muda di Bandung pada awal 2000-an, atau tahun-tahun pertama setelah reformasi.
Ketika itu, budaya literasi meledak menyusul robohnya rezim Orde Baru. Salah satu tadarus yang populer ketika itu adalah buku-buku Pramoedya Ananta Toer.