BAGI Anda yang sering melewati tanjakan Nagreg, Kabupaten Bandung, tentu tidak asing lagi dengan gerbang berbentuk dua tangan menengadah, persis di belokan pertama yang menurun sebelah kiri jalan dari arah Bandung. Tidak jauh dari situ, terdapat pos polisi yang sering disebut pos tangan. Jalan yang menurun juga kerap disebut turunan pos tangan.
Tangan kiri kanan dalam ukuran raksasa itu, mengapit jalan masuk yang tidak terlalu besar ke lokasi perkebunan. Di tempat itulah biasanya pengendara sepeda motor mengaso, berselonjoran kaki menghilangkan kepenatan.
Akan tetapi, itu dulu. Kini gerbang tersebut sudah tidak kelihatan lagi. Sebagai gantinya, berdiri gerbang yang lebih besar dan kokoh dengan dua jalur jalan untuk masuk dan keluar.
Pada bagian atas gerbang terdapat penanda berupa tulisan TPPAS Regional Legoknangka. TPPAS merupkan singkatan dari ”tempat pengolahan dan pemrosesan akhir sampah”.
![](https://static.pikiran-rakyat.com/public/medium/public/2019/01/umitGragfbSYVT5x8655RhQ3z0eV6NQCdqgb4PqJ.jpeg)
Berdirinya TPPAS Legoknangka yang berlokasi di Blok Legoknangka, Desa Ciherang dan Desa Nagreg, Kecamatan Nagreg, Kabupaten Bandung tidak bisa dilepaskan dengan kisah tragis di TPA Leuwigajah, Cimahi yang longsor pada 2005 dan menelan korban jiwa 141 orang.
Setelah lokasi pembuangan sampah tersebut ditutup, empat daerah di wilayah Bandung Raya yakni Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi, kelimpungan karena sulit membuang sampah.
Terlebih, bagi Kota Bandung, kondisi itu mengakibatkan terjadinya penumpukan sampah di mana-mana yang kemudian memunculkan ungkapan sindiran ”Bandung lautan sampah”.
Beruntung kemudian ada lahan milik Perhutani di Desa Sarimukti, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, yang siap menjadi ”bak sampah raksasa” untuk limbah dari Bandung Raya.