kievskiy.org

11 Tahun Usia UU Pengelolaan Sampah, Insinerator Bukan Solusi

SEORANG pemulung memungut sampah di tempat pembuangan sampah liar yang menutupi badan jalan di jembatan Citarum, Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung. Jumat, 15 Februari 2019 lalu. Warga menyesalkan bahwa masih ada sebagian warga yang tidak bertanggung jawab membuang sampah sembarangan, sehingga bau menyengat selalu tercium di tengah jembatan tersebut.*/ADE MAMAD/PR
SEORANG pemulung memungut sampah di tempat pembuangan sampah liar yang menutupi badan jalan di jembatan Citarum, Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung. Jumat, 15 Februari 2019 lalu. Warga menyesalkan bahwa masih ada sebagian warga yang tidak bertanggung jawab membuang sampah sembarangan, sehingga bau menyengat selalu tercium di tengah jembatan tersebut.*/ADE MAMAD/PR

BANDUNG,(PR).- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Barat kembali menyatakan posisinya terhadap pengelolaan sampah di Indonesia, khususnya di Jawa Barat  yang masih fokus pada solusi hilir ( end-of-pipe ). Dalam momentum  Hari Peduli Sampah Nasional, 21 Februari 2019  yang akan segera diperingati di seluruh penjuru Indonesia, pemerintah dan pemerintah daerah masih belum memperlihatkan adanya komitmen serius dan strategis terhadap pengelolaan sampah, sebelas tahun sejak Undang Undang No 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dikeluarkan.

Hal itu terkait dengan 14 tahun lalu, tepatnya 21 Februari 2005, tempat pembuangan sampah (TPA) di Leuwigajah Cimahi meledak dan longsor, 157 orang meninggal dunia dan menjadi tragedi kemanusiaan yang mendunia. Yang kemudian peristiwa tersebut ditetapkan sebagai Hari Peduli Sampah Nasional.

"Perencanaan dan tindakan yang ditetapkan oleh pemerintah masih tidak menyasar isu strategis secara komprehensif (dari hulu ke hilir), hanya memperhatikan kondisi “darurat sampah” (end-of-pipe atau hilir),"kata Direktur Walhi Jabar Dadan Ramdan dalam rilisnya, Rabu, 20 Februari 2019.

Padahal, lanjut dia, komitmen pemerintah yang disampaikan dalam Kebijakan dan Strategi Nasional (Jakstranas) dalam pengelolaan sampah mengamanatkan adanya pengurangan sampah sebesar 30% dan penanganan sampah sebesar 70% pada 2025. Dan kebijakan nasional ini harus diturunkan dan dijalankan di level daerah. 

“Daur ulang saja tidak cukup! Upaya pembatasan timbulan juga harus diutamakan. Sebanyak mungkin produk dan kemasan sekali pakai, yang ujung-ujungnya sulit didaur ulang, perlu dilarang dan diganti dengan produk dan kemasan yang dirancang untuk digunakan ulang (durable dan reusable). Plastik berbasis fossil fuel diganti dengan bahan non-fossil fuel yang bisa diguna ulang, mudah didaur ulang, atau langsung dikomposkan,” ucap Dadan.

Menurut dia, fokus upaya pada penguatan pemilahan, pengumpulan, dan daur ulang sampah organik untuk menanggulangi krisis TPA yang masih banyak menggunakan metode penimbunan (open damping)  adalah hal yang penting untuk dilakukan pertama kali.

TPA dengan open dumping sudah dilarang dalam Undang-Undang, tidak boleh digunakan lagi. Perlu perubahan kebijakan terhadap pembiayaan, kelembagaan, dan regulasi di semua tingkat pemerintahan. 

"Implementasi dilakukan secara masif dengan tidak lagi mengandalkan pada kesadaran masyarakat saja, tetapi juga berbasis peran pemerintah dan penegakan hukum yang konsisten,"ujar dia.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat